Lihat ke Halaman Asli

Mawar Hitam

Diperbarui: 21 Desember 2024   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang mayat perempuan terbujur kaku dibibir sungai membuat gempar warga desa. Menurut desas-desus warga sekitar, perempuan itu menenggak racun karena ditinggal menikah kekasihnya. Dulunya pasutri ini begitu dikenal dan diagungkan oleh warga sekitar yang kelak jika menikah akan menjadi keluarga paling harmonis. Sang wanita yang bernama Nawang dan pemuda bernama Bagaskara. Nawang yang begitu cantik, cerdas dan luar biasa santun perangainya begitu serasi berpasangan dengan Bagaskara yang gagah dan bijak. Seluruh warga menjadi heran mengapa Bagaskara memilih menikahi wanita lain, sementara hubungan pasutri itu telah berjalan bertahun-tahun tanpa badai apapun. Bahkan mereka dijuluki 'Bunga yang bertemu pemiliknya'.
Suasana duka menyapu upacara pemakaman sore itu. Rangkaian bunga mawar disusun diatas keranda dingin Nawang. Puluhan warga berpakaian hitam memenuhi kediaman Nawang untuk mendoakan dan membawa jasadnya ke peristirahatan terakhir. Aku datang ke pemakaman Nawang bersama Mira, temanku. Semalam ketika aku melewari Jalan Tjokro terdengar rintihan tangis perempuan yang begitu familier, tetapi aku tak menghiraukannya. Beberapa minggu ini aku memang di kota disibukkan dengan aktifitas perkuliahan. Saat pulang dari kota tadi malam aku mendengarnya samar. Nawang merupakan kawan lama kami waktu sekolah menengah. Bukan dusta yang diucapkan para tetangga. Nawang merupakan gadis yang menurut kami adalah 'Bunga' kelas bahkan sekolah. Aku dan Nawang selalu dalam urutan pertama dan kedua juara angkatan. Tetapi aku hanya unggul dalam bidang akademik. Lain dengan Nawang yang unggul dalam segala hal. Tetapi dirinya tak pernah menganggapku rival begitu pula denganku.
Setelah acara pemakaman selesai, para tetangga berpamitan pada orang tua Nawang serta mengucap bela sungkawa. Aku dan Mira memilih berdiam sejenak memandang pusara teman lama kami.
"Aku tak mengira Nawang akan tewas dengan cara yang tragis seperti ini. Dulu aku selalu mengaguminya. Dia itu 'Bunga' yang tidak pernah layu. Begitu sempurna tanpa cela" ucap Mira
"Mungkin ini takdir yang harus ditempuhnya" Ucapku yang juga bingung menanggapi situasi ini.
Setelah termenung beberapa saat, akhirnya kami kembali ke kediaman Nawang untuk berpamitan.
Dirumah aku kembali memikirkan tentang Nawang. Gadis itu tewas meninggalkan banyak pertanyaan dalam benakku. Di sekolah dulu dia selalu terlihat sempurna. Ada yang janggal dengan kematiannya. Nawang anak yang cerdas sejak dulu, tetapi mengapa memilih berpikiran pendek dengan bunuh diri jika hanya ditinggal menikah kekasihnya?
Beberapa minggu setelah kematian Nawang, aku kembali disibukkan dengan sebuah riset yang telah kurancang dengan seorang dosen fakultasku. Saat tengah melakukan observasi di perkampungan terpencil sebagai penunjang studi kasusku, aku melihat ibu Nawang sedang berbincang dengan seseorang di sebuah gubuk. Atensiku berpindah. Sayup terdengar bisikan
"Anak keras kepala itu ternyata memilih mati." Sarkas ibu Nawang
"Sebuah pencapaian yang bagus Ratih." Ucap sang lawan bicara dengan nada sinis.
"Ini bukan salahku, anak itu yang mengakhiri hidupnya sendiri. Lagipula jika anak itu mati, tidak ada bedanya bagiku. Anak itu saja tidak bisa merebut hati putra walikota itu, untuk apa dipelihara lagi."
Anak itu? Mati? Merebut hati putra walikota? Siapa yang mereka bicarakan? Apakah Nawang? Mengapa ibu Nawang berbicara seperti itu. Pikiranku mulai tidak waras. Kematian Nawang yang tiba-tiba membuatku berpikir berlebihan.
Entah mengapa pikiranku selalu saja teringat pada Nawang. Aku memutuskan untuk mengunjungi makamnya. Di waktu yang sama aku melihat seorang pria jangkung bertubuh proporsional yang kuperkirakan umurnya 25 tahun tengah memandangi pusara Nawang. Dengan langkah ragu aku menghampiri pria itu. Sesaat pria itu menyadari keberadaanku, dia seketika lari bak cheetah. Sekuat tenagapun aku menyusul pria itu.
Nasib tak berpihak padanya. Sebuah kuda besi menabraknya dari arah berlawanan. Nahasnya sang pengendara tak mau sekadar memastikan nadinya berdetak atau tidak. Dengan perasaan kesal aku membawa pria ini ke klinik terdekat.
Setelah memastikannya sadar, langsung kuberondong dengan banyak pertanyaan.
"Siapa kau? Ada urusan apa dengan Nawang? Mengapa lari saat kukejar?"
"Bukan urusanmu" jawabnya ketus.
Sudah dalam keadaan lemah, masih saja keras kepala! Menyebalkan!
"Baiklah, jika kau tak mau memberi tahu. Kau sudah sadar, tugasku sudah selesai. Aku pergi" Aku sedang tidak ingin berdebat saat ini. Lebih baik aku pergi daripada meladeni pria tidak waras seperti ini.  
"Tunggu! Apa kau teman dekat Nawang?"
Nah!
"Apa identitasku menjadi urusanmu sekarang?" ucapku mencoba menantangnya.
"Bisakah kau beri tahu saja kau siapa?"
Ck! Pria ini!
"Namaku Ratna. Aku teman Nawang tetapi tidak terlalu dekat, kami satu sekolah saat sekolah menengah dulu."
"Dan siapa kau?" ini kesempatanku mencari tahu siapa dirinya.
"Akulah orang yang selalu kalian sebut 'Pemilik Bunga' itu." Ujarnya sambil tersenyum pahit.
"Kau Bagaskara?!" Aku terkejut bukan main. Dia kekasih Nawang. Sang pemilik bunga yang kini telah mati. Ku akui pria ini memiliki paras tampan dan berwibawa auranya, aku hampir lupa kalau pria ini kekasih temanku dan juga sudah menikah.
"Ya, dan akulah yang seharusnya disalahkan atas kematian Nawang."
"Apa?" ucapnya membuatku terkejut.
"Kalian memberiku kehormatan dengan sebutan 'Pemilik Bunga',tetapi 'bunganya' saja telah lama layu, aku tak pernah bisa memahaminya" ucap pria itu putus asa.
"Maaf?"
Apa yang pria ini bicarakan?
"Kami memang sepasang kekasih seperti yang kalian lihat, tetapi pemilik hatinya bukan aku orangnya."  
"Aku mengenalnya melalui orang tua kami. Orang tua kami saling mengenal sejak lama. Saat itu ayahku tengah mencalonkan diri menjadi walikota. Untuk memenangkan suara, ayahku meminta bantuan ayahnya yang merupakan orang terpandang dikota ini. Kesepakatan pun terjadi. Jika ayahku terpilih menjadi walikota, maka aku dan Nawang akan dinikahkan." Ucapnya panjang lebar.
"Lalu, bagaimana bisa kau menikah dengan orang lain?"
"Aku belum menikah, itu hanya omong kosong belaka karena beberapa minggu terakhir kami tidak bertemu." "Kami saling mengenal dan bertemu sudah hampir satu tahun. Kami menjalani hubungan ini dengan semestinya. Aku memang telah menaruh hati padanya. Meskipun begitu, Nawang tak pernah memberikan hatinya untukku."
"Siapa pria yang kau maksud?"
"Dia adalah pemilik perpustakaan di perpustakaan desa Suryanegara, letaknya disebelah utara desa ini. Namanya Razi. Aku pernah bertemu dengannya, dia pria yang luar biasa."
Sudah kuduga! ada yang tidak beres dengan kematian Nawang.
"Aku harus menemui pria itu." Ucapku lalu pergi dengan buru-buru.
Aku dengan langkah tergesa menuju perpustakaan yang Bagaskara bicarakan. Dengan wakut  yang singkat, aku menemukan keberadaan perpustakaan yang dimaksud. Sesampainya di perpustakaan itu, aku kagum dengan penataan perpustakaannya. Perpustakaan bergaya klasik barat ini memberikan kesan yang sangat nyaman bagi pengunjungnya. Aku tak dapat menemukan pria itu di perpustakaan. Lalu aku memutuskan bertanya pada salah satu pengunjungnya.
"Permisi, apakah kau tahu dimana pemilik perpustakaan ini?" tanyaku pada seorang gadis yang kuperkirakan dua atau tiga tahun lebih muda dariku.
"Biasanya jam-jam seperti ini Mas Razi masih berada di rumah. Sebentar lagi dia akan kesini." Jawabnya
Dari ekspresinya, sepertinya gadis ini mengagumi sang pemilik perpustakaan, dapat kubaca dia selalu memperhatikan pria itu. Namun sayang sekali sapertinya cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Baiklah, aku akan menunggunya." Putusku dengan mengambil sebuah buku ilmiah.
"Ada urusan apa kau dengannya?" ucapnya tidak suka
"Aku hanya ingin menanyakan beberapa buku padanya, tidak lebih" ucapku meyakinkannya
Setelah setengah jam berkutat dengan sebuah buku dan mencari tahu identitasnya melalui media sosial, seorang pria yang disapa Razi itu masuk ke perpustakaan. Tampang kalemnya begitu dominan. Kacamata yang bertengger dipangkal hidungnya memberikan kesan bak ilmuwan. Aku segera menghampirinya. Aku ini dan mencoba sok kenal dengan mengajaknya berbicara mengenai perpustakaan dan buku-bukunya. Sebenarnya melihat koleksi buku-buku disini, sebagian besar aku tahu isinya. Demi perkara yang janggal ini akan kulakukan.
"Aku sangat kagum dengan prestasimu dan juga perpustakaanmu ini, apakah ada rahasia yang menjadi kesuksesanmu saat ini?" ucapku mencoba mencari tahu.
"Ini semua tentunya berkat kerja kerasku dan do'a."
"Ah, apakah ada orang hebat yang selalu mendukungmu?" aku mencoba memancingnya.
"Tentu, dialah ibuku."
"Aku sebenarnya telah mengikuti beberapa media sosialmu, aku melihat di sebuah unggahanmu seorang wanita yang terlihat familier. Dia terlihat seperti temanku. Apakah namanya Nawang?" aku sudah tidak tahan dengan basa-basi ini.
"Bagaimana kau mengenalnya?" tanyanya begitu terkejut dengan penuturanku.
"Itu hal yang tidak penting sekarang. Tolong bantu aku menjawab pertanyaan konyol di kepalaku, Razi."
"Apa maksudmu?"
"Aku merasa ada yang janggal dengan kematian Nawang, menurutku ini tidak masuk akal. Seorang Nawang yang begitu dikagumi karena kesempurnaannya dan kecerdasannya tiba-tiba tewas dengan cara yang tragis." Aku mulai mengungkapkan maksudku, aku juga menceritakan pertemuanku dengan Bagaskara dan juga tentang pembicaraan Bu Ratih.
"Hentikan pikiran bodohmu itu, tidak ada yang mengetahui segala keputusan Tuhan tentang jalan hidup manusia." Ucapnya mencoba menyangkal.
Ayolah, kau terlihat sedang menutupi sesuatu Tuan Razi!
"Sudahlah Ratna, aku tak ingin membahas hal ini. Bukankah temanmu juga sudah tenang disana, jadi jangan membahas hal ini lagi."
"Apakah kau rela Nawang pergi begitu saja? Dan kau bilang apa? Dia sudah tenang? Tidak Razi, dia mati dengan jalan yang tidak benar. Setidaknya dengan mengungungkap kejahatan pelakunya, Nawang akan bertistirahat dengan tenang."
"Baiklah, akan kuceritakan apa yang menjadi pikiran Nawang selama hidupnya"
"Seperti yang kau ketahui Nawang memang anak yang sempurna. Tetapi kesempurnaannya hanya topeng belaka. Aku mengenalnya sebagai anak yang ceria, pintar, tetapi tatapannya begitu rapuh. . Aku dapat melihat dia memiliki beban berat dipunggungnya. Aku kenal Nawang saat dia pertama kali pergi ke perpustakaanku empat tahun yang lalu. Saat itu dia tengah mencari sebuah buku untuk bahan penelitian, dan dari sanalah kami mulai mengenal. Dia beberapa kali mengunjungi tempat ini, dan selama itu kami selalu berbincang. Semakin lama, dia semakin sering mengunjungi tempat ini, dan kami menjadi dekat. Suatu hari, dia mengungkapkan rahasia terbesarnya kepadaku. Dia bercerita bahawa orang tuanya selalu memaksanya menjadi pribadi yang sempurna dihadapan orang lain dan selalu dipaksa menuruti keinginan orang tuanya. Lalu, suatu hari orang tuanya memperkenalkannya pada Bagaskara. Mereka membicarakan soal perjodohan untuk mereka berdua yang tentu saja membuat Nawang bingung bukan main. Nawang juga diancam jika menolak perjodohan itu, maka dirinya akan dibuang ke hutan. Dia tak bisa apa-apa, dia terpaksa menjalani semuanya."
"Aku bingung, di satu sisi aku ingin menyelamatkannya tetapi di sisi lain aku tak bisa elawan orang tuanya. Aku akui aku mencintainya. Siapa yang tidak hanyut dalam pesona gadis yang pintar dan cantik sepertinya. Pernah suatu hari aku mengungkapkan perasaan yang kupendam, dan betapa bahagianya aku bahwa dia merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya tiga hari sebelum kematiannya, dia mengatakan hal yang aneh bahwa ia ingin hidup bersamaku meskipun itu tidak mungkin. Perkataannya seperti orang putus asa, aku berkata padanya bahwa aku akan berjuang untuknya agar kami hidup bersama, tetapi ia selalu berkata sangat tidak mungkin. Dan ketika aku mendengar kematiannya seluruh jiwaku hancur seolah separuh jiwaku ikut pergi bersamanya."
"Astaga!" Aku terkejut setengah mati mengetahui kebenaran dibalik topeng sempurna milik Nawang. Kisah pilu yang selalu Nawang tutupi
"Lalu setelah mengetahui ini kau akan melakukan apa, Ratna? Melaporkan  kepada polisi? Kau tidak punya kekuatan Ratna, lawanmu tak hanya orang tua Nawang, tetapi juga aliansinya. Mereka punya posisi di jajaran pemerintahan, sedangkan kau? Kau tidak punya kekuatan sama sekali." Peringatnya padaku.
Sial! Seharusnya aku tak berlari sejauh ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline