Lihat ke Halaman Asli

Alfiansyah_senja

Penulis artikel, foto, dan traveling

Soliter

Diperbarui: 8 April 2020   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

CERPEN-SOLITER
Oleh : Alfiansyah


Sebenarnya aku bisa saja kredit mobil pribadi, tidak berdesak-desakan, duduk nyaman memegang setir sambil mendengarkan lagu jazz idaman dari sound audio mobil. Tapi aku tetap memilih mini bus. Mungkin aku  punya hobi paling aneh. Hobiku adalah melamun berlama-lama di mini bus, atau memperhatikan wajah-wajah para pekerja yang selalu dilanda kecemasan dan tak percaya dengan hidup yang begini-gini saja.

***
Pulang sehabis bekerja justru membuatku jadi bingung. Kebingungan ini akan dirasa ketika sudah 17 tahun bekerja di perusahaan yang itu-itu saja, dengan penghasilan yang begitu-gitu saja dan bertemu dengan orang yang itu-itu saja. Bagaimana mempertahankan diri dan bermuka dua agar terlihat baik-baik saja. Ada yang masih bertahan, ada yang keluar karena ketahuan 'nakal', dan ada yang bernasib baik. Naik jabatan atau pindah kerja, plus naik gaji yang layak.

Kebingungan yang kumaksud adalah kerja dan tidak bekerja, keduanya sama saja. Selama ini yang paling melekat adalah pekerjaan. Nanti, sampainya di rumah pun aku pasti memikirkan kerja. Tapi, jika sudah bersama mamanya anak-anak dan dia tidak 'halangan', otomatis pikiran kerja itu berlabuh pada mengerjai mamanya anak-anak---tapi sama saja, karena kerjai mamanya anak-anak keringatan juga, dan setelah itu pikiran mulai lagi dikerjaan. Apakah kerja sudah seperti Tuhan, karena tiap hari dan tiap saat selalu terkoneksi dan menanti kita?

Sudah dua tahun mini bus beroperasi di kota ini. Diadakannya mini bus demi mengurangi kemacetan. Selain itu, pemerintah daerah menaiki pajak kendaraan yang sudah tua. Sebuah langkah yang bijak. Namun tetap saja populasi jumlah manusia dan kendaraan tidak sebanding dengan ruas jalan. 

Pada akhirnya, aku pun selalu terjebak dalam kemacetan. Di dalam mini bus, hampir semua penumpang tak ingin diganggu. Kebanyakan main hape, atau melamun berlama-lama. Seperti biasa, pandanganku selalau melihat dari balik kaca. Melamum. Memikirkan apapun. Terutama jika aku mati. Seakan semua kejadian berlalu begitu cepa,t dan segalanya lambat laun berubah.

Wajah penumpang hari ini hampir sama dengan hari-hari sebelumnya, bahkan bisa jadi tahun yang akan datang bisa semakin menjadi. Kerutan di dahi tidak pernah hilang. Wajahku akhirnya berbaur dengan mereka. Wajah menyedihkan, yang digores oleh berbagai macam rutinitas yang tidak lain ditancapkan plastik yang melekat di seluruh tubuh. 

Kali ini plastik yang menambal di wajah itu benar-benar terkelupas. Lihat sendiri, betapa menyedihkannya wajah itu : begitu egois, mementingkan dirinya sendiri, merengut, tak ada gairah, selalu cemas, buru-buru, dan benar-benar tidak bisa lari dari kenyataan.

Waktu kadang tak adil. Apakah mesti menghabiskan waktu menjadi tua dulu, baru bisa melunasi cicilan rumah? Beberapa sahabat lebih dulu dipanggil ilahi. Mursalin, Rasudin, Atma Rusadi, dan dua hari lalu giliran Mulyono sakit jantung ketika main futsal dan tak sempat dilarikan ke rumah sakit. Mereka semua adalah sahabatku ketika berkuliah.

Jika ingat kuliah, aku jadi ingat semuanya. Masa-masa di mana, cinta, hasrat, dan gairah melebur jadi satu. Muda hanya sekali, dan kesialan terbesar adalah tak melakukan hal-hal gila ketika muda. 

Semua hanya bisa direnungi dan diagung-agungkan. Bagaimana, dulu, zaman "hidup mahasiswa!" bisa berpikir bebas, tanpa mesti ada keterikatan waktu seperti sekarang ini, semuanya dilakukan serba cepat dan efektik. Apalagi, gejala ketakutan selalu menghampiri setiap saat dan setiap waktu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline