Lihat ke Halaman Asli

Nikah Muda dan Nekat, Apakah Keputusan yang Tepat?

Diperbarui: 13 Februari 2018   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sujiwo Tejo hadir di acara "Edan-edanan Bareng Presiden Jancukers", di Kafe Basabasi, Jogja, Senin (29/1/2018). DOK. PRIBADI

-Sujiwo Tejo Kongko Soal Jodoh (Bagian Terakhir)

ALFIANSYAH

Kenapa sekelas Mbah Sujiwo lebih memilih kawin lari dan nekat sekali membawa anaknya orang. Walau saya tak ingin memikirkan 'dapurnya' orang---apalagi sekelas Mbah Sujiwo---bagaimana, tapi saya yakin Mbah Sujiwo adalah orang yang bertanggung jawab, apalagi dengan persoalan pribadi dan menyangkut keluarga.

Saya pun bertanya kepada seseorang yang sudah berumur, plos, serta tak ingin basabasi mengenai hidup. Saya cerita mengenai apa yang dikatakan Sujiwo.

"Apakah jalan yang diambilnya itu benar atau salah?" kata saya.

"Itu pemikiran dulu. Itulah jalan hidupnya seorang seniman. Ia nekat. Harus siap menerima konsekuensinya. Ia membawa anaknya orang itu kan tidak boleh. Mau jadi ksatria, harus siap menerima semuanya, dan berani mempertanggungjawablannya. Harusnya dia bisa lebih baik lagi. Karena apa, menelantarkan anak-istri itu dosa," jawabnya. Jawaban yang logis.

Tak sampai disitu, ia pun melanjutkan bahwa apa yang dikatakan Sujiwo adalah kata-kata filsafat dan memang sering orang ngomong seperti itu.

"Jika suami tak ada usahanya untuk cari kerja dan sudah termakan dengan yang namanya nasib yang itu-itu saja, sementara semuanya telah digerogoti oleh tuntutan ekonomi yang menggunung, maka, nantinya yang sering terjadi adalah jual cincin atau utang sana-sini. Jadi nikah itu tak sembarangan juga. Tanggung jawabnya besar karena menafkahi tak hanya satu kepala. Harus siap. Berani dan harus kerja. Kerja keras untuk makan," katanya.

Saya masih ganjil menggabungkan dua jawaban itu. Menikah dulu sebelum kerja atau kerja dulu sebelum menikah. Artinya begini, jika menikah dulu sebelum kerja, rezeki nanti pasti akan mengalir, karena suaminya tak hanya menghidupi dirinya sendiri. Dan kata orang tua, semua itu sudah terbukti. Usaha keras dan bangun dari nol. Jika keduanya dilanda musibah yang besar, pasti keduanya dapat melaluinya dengan baik, karena semuanya dimulai dari nol besar.

Yang kedua, kerja dulu baru menikah. Tunggu laki-lakinya benar-benar dapat kerjaan 'jelas', jadi 'orang', penghasilan mapan. Tapi, jika tunggu seperti itu, kebanyakan tuntutan rincian ekonomi yang menumpuk, dimana laki-laki mesti menyediakan uang yang besar untuk biaya resepsi pernikahan atau tuntutan dari keluarga perempuan, dimana laki-laki mesti menyerahkan ini-itu. Jika keduanya belum melalui 'gubuk derita' terlebih dahulu, apa jadinya ketika keduanya dilanda musibah yang begitu berat?

Mungkin inilah yang sering menghantui kawula muda, terutama bagi laki-laki yang sudah berumur 25 tahun ke atas, dimana ia belum bekerja tapi si doi menuntut ingin dinikahi. Katanya minta dihalalkan, daripada begini-gini terus, dosa semakin menumpuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline