Lihat ke Halaman Asli

Lautan Emosi

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

__________________________

Malam baru saja berlalu sedangkan pagi baru ingin bangun dari ketertiduran. Aldi menghentikan motornya di depan rumah tua bertigkat dua. Bagian kiri dinding rumah itu sudah di tumbuhi oleh tanaman ive tapi walau pun begitu halaman yang terlindungi oleh pagar-pagar kayu mengelilingi bagian depan rumah sangatlah terawat. Bunga-bunga dan para bongsai rapi dan menyejukkan. Memberikan pemandangan yang enak dipandang mata.

Setelah memarkir sepeda motor di samping tiang bendera yang tidak lagi mengibarkan bendera, Aldi melangkah maju menaiki beberapa anak tangga, lalu langkahnya itu terhenti di depan pintu yang akhirnya di ketuknya pelan.

Seorang lelaki tua membukakan pintu dari dalam, lelaki itu tersenyum ramah dan menggeser tubuhnya sedikit kesamping, memberikan ruang untuk Aldi masuk.

“Dia ada?,” tanya Aldi sambil bergerak maju kearah tangga untuk menuju lantai dua.

Lelaki tua yang ternyata adalah pengurus rumah itu hanya menganggukkan kepala sembari menutup kembali pintu rumah.

Aldi menapakkan kakinya pelan melewati satu per satu anak tangga yang berdenyit, hingga akhirnya langkahnya berlanjut melewati daun pintu yang di gesernya ke dalam perlahan.

Aldi diam sejenak, memandang ke sosok tenang di balik selimut tebal, tanpa mau menunggu lagi, Aldi langsung duduk di samping tempat tidur tadi, dan membangunkan sosok yang terbaring bisu.

Dua bola mata itu membuka pelan, suara nafas terdengar penuh keluh, tapi ketika menyadari siapa yang duduk di sampingnya, sosok tadi mengerutkan keningnya dengan sangat heran.

“Ayo bangkit,” ucap Aldi sambil menarik sosok tadi, membantunya untuk bangkit.

Tanpa ada perkataan lagi, tanpa ada perbincangan yang berarti, Aldi langsung menggendong sosok tadi, membawanya keluar kamar lalu menuruni tangga hingga akhirnya sosok tadi di letakkan di atas kursiroda yang ada di samping tangga.

Langkah Aldi bergerak di belakang dua roda yang berputar bersamaan, melewati lantai yang berlapiskan karpet bercorak bunga-bunga. Sosok tadi di bawa Aldi menuju pintu belakang yang berlapiskan kaca tebal transparan.

Bebatuan kerikil membuat dua roda dari kursiroda tadi tak bisa bergerak. Tubuh berat yang ada di kursiroda juga memberatkan Aldi untuk menuruskan pergerakan mereka.

Hembusan angin laut sudah terasa, begitu juga dengan suara hempasan gelombang yang menghempas tiang-tiang dermaga. Dengan perlahan sosok tadi diangkat oleh Aldi, digendongnya lagi, kali ini menuju dermaga yang remang sambil memandang ujung cakrawala yang mulai menyelipkan biasan sang surya.

Pelan diturunkan oleh Aldi sosok yang digendongnya tadi, di dudukkannya di atas bangku kayu yang masih basah karena embun. Dan setelah itu Aldi duduk di bangku kayu yang ada di belakang sosok tadi. Bersama-sama mereka berdua menyaksikan keindahan alam yang membuat hati merasa tentram

Masih sama tak ada perbincangan, pelan jemari Aldi memegang pundah itu dan di saat yang bersamaan air mata dari sosok tadi mengalir pelan melewati wajah yang penuh dengan kerutan.

“Sulit untukku mengatakan aku tidak marah, sulit bagiku menerima kondisi yang terlanjur sudah terjadi. Tapi, sebagai manusia kita hanya bisa marah, dan kemudian perlahan melakukan pemaafan atas banyak kesalahan.”

Tangis itu semakin terasa ketika tubuh itu bergetar disertai dengan suara isekan pilu yang menghangat oleh cerahnya cahaya matahari yang perlahan terbit dari balik ujung lautan yang tenang.

“Hingga hari ini pun kemarahan itu masih membuat aku merasakan sendiri. Seperti kesendirian yang sejak dulu aku rasakan,” lanjut Aldi lagi.

Di dalam potret alam yang perlahan benderang dua sosok lelaki itu duduk sunyi di halaman belakang rumah yang ada di pinggiran pantai di atas dermaga kayu. Keduanya terendam dalam pergulatan perasaan, dalam kemaafan dan di dalam kebersalahan.

__

Aldi :

Hidup adalah rentetan kejadian yang saling berkaitan, di mana kehidupan seseorang tidak pernah lepas dari sutu kejadian yang dialami oleh orang lain.

Andai saja waktu itu seorang sopir taksi tidak berhenti untuk minum teh di sebuah kedai teh, dan seorang wanita muda tidak ingin pergi ke toko baju yang berada di samping teater musik itu kemungkinan besar beberapa kejadian akan berubah.

Andai saja sopir itu terus bergerak tanpa berhenti di kedai teh maka wanita yang ingin pergi ke toko baju itu akan ketinggalan taksi tadi, dan dengan terpaksa wanita tadi harus menunggu taksi berkitnya. Taksi yang tidak berpenumpang itu melewati lampu hijau yang hampir merah dan melewati sosok wanita lain yang berputar menari sambil tersenyum kearah temannya di jalan yang ramai.

Tapi kejadian itu berubah dan tidak seperti itu. Sopir taksi tadi benar-benar berhenti di kedai teh untuk minum teh, setelah itu bergerak dan berhenti di depan rumah wanita tadi karena wanita tadi menghentikannya, mereka juga terhenti di lampu jalan yang sudah terlanjur berubah merah, dan setelah itu ketika melewati jelan ramai di dekat teater musik dan toko baju itu, sosok wanita lain berputar menari sambil tersenyum kearah temannya yang ada di depan teater dan supir taksi tadi terkejut lalu menabrak wanita yang tadinya berputar menari kearah jalan.

Dan setelah itu aku pun harus duduk di bangku tunggu di sebuah rumah sakit dengan perasaan sangat cemas, hingga seorang dokter menghampiriku dan memberitahu ku satu hal.

Duniaku dan juga dunia orang-orang adalah dunia yang sama. Walau kehidupanku tidak terlalu sama dengan kehidupan orang-orang. Sepanjang hidupku aku tidak terlalu banyak mempermasalahkan berbagai hal. Aku hanya sering diam dan berpikir seolah-olah aku berada di dalam ketenangan. Tapi yang tahu tentang perasaanku hanyalah aku bahkan saat aku terluka sekali pun aku hanya bisa mencoba untuk bisa menerima kenyataan. Karena bagiku sepahit apa pun itu, takdir tetaplah takdir dan jika takdir itu sudah berbicara padaku melewati sebuah kejadian maka aku hanya bisa diam dan menerima apa yang sudah tertakdirkan.

Dedaunan berguguran disertai oleh beberapa orang yang mengenakan pakaian hitam tanda berkabung. Satu persatu dari orang-orang itu memberikan aku motivasi untuk tetap tabah, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih pada mereka dan selanjutnya aku pun tertinggal sendiri merendahkan tubuhku di depan kuburan yang masih berhiaskan rangkaian bunga mawar putih yang dulu di sukai oleh Lina, istri tercintaku.

Saat aku sudah selesai, aku mulai bergerak menjauh, saat itulah aku mendapati sosok tua dengan tongkat di bawah pohon akasia menatap kearahku, kemudian bergerak menuju mobil sedan hitam dan menghilang di balik jendela mobil yang gelap menutup.

Wisnu :

Jas hitam, rambut tersurui rapi kebelakang, di depan cermin di dalam kamar, aku memandangi diriku sendiri. Mencoba menyelami sosok yang ada di hadapanku itu, bertahan pada sebuah tongkat kayu dengan kaki kanan terbalut perban.

Suara hentakan tongkatku lebih keras daripada hentakan kakiku yang berpijak sebelah. Apa lagi saat aku menuruni beberapa anak tangga, walau pun saat itu aku di bantu oleh sopirku untuk turun, ketika sudah mencapai dasar aku lebih memilih untuk bergerak tanpa dituntun.

Di bangku belakang, di dalam mobil sedanku yang bergerak perlahan meninggalkan rumah, aku mulai menyalakan sebatang rokok, tujuannya untuk menghilangkan rasa tegang yang ada di kepalaku. Rokok tidak terlalu banyak membantu, aku pun berujung pada renungan dalam yang sarat akan kesedihan.

Pemandangan sekawanan ilalang tidak bisa mengusik renungku, hingga sedan berhenti dan sopirku membertahuku bahwa kami sudah sampai, aku baru tersadarkan.

Ketika aku keluar dari dalam mobil, aku bisa melihat beberapa orang berpakaian hitam pulang menyusuri jalan, dan cukup lama aku menunggu, hingga bersandar di samping pohon akasia. Aku melihatnya bergerak, aku melihatnya begitu nyata, senyata tahun-tahun dulu ketika dia masih di dalam pengawasan mataku. Dia terlihat sedih, dia terlihat lusuh dan dia menatapku dengan wajah heran.

Aku berpaling, kembali ke dalam mobil dan menyuruh sopirku untuk bergerak kembali melaju.

__

Wisnu bergerak menuju sebuah meja di dalam sebuah kedai kopi, di meja itu Aldi duduk dengan ramut acak-acakan. Gelas yang di hadapinya bukan lagi kopi tapi sudah berubah menjadi cairan keemasan berbusa, seperti senja yang berganti malam dan malam menjadi semakin larut.

Kedai itu sudah hampir tutup, para pelanggan pun sudah pulang satu per satu, hingga yang tersisa hanyalah Aldi dan Wisnu.

“Boleh aku bergabung?,” tanya Wisnu sambil tersenyum ramah.

Aldi hanya mengangguk setuju.

“Kau sering ke sini?,” tanya Wisnu membuka pembicaraan.

Aldi tersenyum sinis. “Kadang-kadang,” Aldi memperhatikan wajah yang ada di hadapannya. “Sepertinya aku melihatmu di pemakaman istriku siang tadi?.”

“Ya, aku terlambat — aku turut berduka atas itu.”

“Tak usah dipikirkan. Itu sudah terjadi, aku sudah sering hidup sendiri. Dulu aku juga sendiri, bagaimana dengan dirimu?.”

“Aku juga, Istiku sudah 3 tahun meninggal.”

“Aku turut berduka.”

Perbincangan itu berjalan biasa saja, bercerita tentang kehidupan dulu mereka yang sangat berbeda. Aldi bercerita tentang panti asuhan yang dulu menampungnya hidup, kemudian perjuangannya saat sekolah kamudian hingga pertemuannya dengan Lina, almarhum istrinya. Sedangkan Wisnu bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang hancur. Tentang perselingkuhannya dengan seorang perempuan yang bekerja di dapur keluarganya.

“Kau bisa membantuku?,” tanya Wisnu.

“Tentang apa?,” Aldi balik bertanya.

Wisnu pun mengajak Aldi ke pabrik anggur milik Wisnu, mereka malam itu berkeliling sambil membicarakan banyak hal tentang anggur. Kaki Wisnu yang mengalami infeksi membuat dirinya sering berhenti untuk istirahan hingga akhirnya mereka sampai di ruangan istirahan.

Di atas shopa mereka duduk bersebrangan, saat itulah Wisnu menceritakan sesuatu.

“Aku tidak memiliki keturunan dan aku ingin setelah aku mati kau yang akan meneruskan perjuangan pabrik ini!.”

Aldi hanya bisa mengerutkan kening. “Aku bukan siapa-siapa, aku tak bisa menerimanya, lagi pula kita baru saja kenal. Kau terlalu cepat percaya!.”

“Sebenarnya kau adalah anakku, Ibumu bernama Rukdiana, perempuan yang bekerja di dapur keluargaku. Ibumu meninggal saat melahirkanmu—.”

Aldi berdiri tak percaya.

“Maafkan aku telah meninggalkanmu di pantiasuhan malam itu. Aku sudah berjanji pada Ibumu, aku akan terus menjagamu.”

__

“Sulit untukku mengatakan aku tidak marah, sulit bagiku menerima kondisi yang terlanjur sudah terjadi. Tapi, sebagai manusia kita hanya bisa marah, dan kemudian perlahan melakukan pemaafan atas banyak kesalahan.”

Tangis itu semakin terasa ketika tubuh itu bergetar disertai dengan suara isekan pilu yang menghangat oleh cerahnya cahaya matahari yang perlahan terbit dari balik ujung lautan yang tenang.

“Hingga hari ini pun kemarahan itu masih membuat aku merasakan sendiri. Seperti kesendirian yang sejak dulu aku rasakan,” lanjut Aldi lagi

Di dalam potret alam yang perlahan benderang dua sosok lelaki itu duduk sunyi di halaman belakang rumah yang ada di pinggiran pantai di atas dermaga kayu. Keduanya terendam dalam pergulatan perasaan, dalam kemaafan dan di dalam kebersalahan.

Tubuh Wisnu tidak lagi bergerak, kedua matanya tidak lagi memandang, dia tenang bersamaan dengan matahari yang terbit secara perlahan.[]

______________

http://alfiannoorjr.blogspot.com/

______________




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline