Lihat ke Halaman Asli

[Mahakama]06/ Naga dan Garuda

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Suara genderang menggema penuh semangat, seirama dengan gerakan pengayuh yang berada di setiap sisi kapal. Air sungai Mahakama bergelombang, sekawanan pesut meloncat beriringan. Aku bersandar di jeruji besi dengan kaki terjerat rantai demikian juga dengan kedua pergelangan tanganku. Kapal sedikit bergoyang, suara orang-orang timbul-tenggelam, aku memejamkan mataku, mencoba memfokuskan imajinasiku ke alam lama yang bisa membuat aku tenang, yaitu suara lembut yang aku rindukan. Ketika aku membuka mata, aku membayangkan berada di atas tempat tidur, berbaring dalam wujud kecilku, di sampingku sosok yang aku rindukan duduk sambil mengelus rambutku.

Seperti yang memang sering dilakukan oleh Ibuku setiap hari sebelum aku tidur, dia menyuguhkanku cerita-cerita luar biasa yang tidak akan pernah aku lupakan, kisah-kisah masa lalu yang memiliki kekuatan dan pelajaran besar di dalam kehidupan manusia. Kisah tentang alam dan dunia, tentang hukum dan tatanan kehidupan, demikian juga tentang kekuatan besar yang telah menciptakan itu semua.

Di suatu malam di kala aku menjadi sangat sedih karena kerinduanku dengan Ayahku, waktu itu aku tak mengerti mengapa Ayahku mendapatkan hukuman yang sebenarnya tidak berhak diterimanya. Aku tidak mengerti mengapa Ayahku mengorbankan hidupnya demi kelangsungan hidup orang lain, mengapa dia mau menyandang dosa seseorang yang mungkin tidak pernah dikenalnya dengan baik. Untuk menghilangkan rasa sedihku itu, Ibuku menceritakan sebuah kisah, kisah Bagawan Dhomya yang tinggal di Ayodhya bersama tiga orang muridnya ; Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiga muridnya tadi diberi masing-masing tugas yang berbeda dan setiap dari tugas mereka itu harus dikerjakan apa pun resikonya..

Sang Utamayu diberi tugas menggembala sapi namun dengan syarat selama dia mengerjakan tugasnya dia tidak boleh meminta air di saat dia sedang haus, maka untuk menawari dahaganya dia pun menjilati susu sapi yang digembalanya, namun dia juga dilarang untuk melakukan itu. Karena dia tak bisa menahan rasa haus lagi, maka dia pun mengisap getah pohon waduri yang mengakibatkan kebutaan. Karena tidak bisa lagi melihat, Utamayu pun terperosok ke dalam sumur kering hingga sore tiba. Gurunya mencarinya dan menemukannya di sumur tadi dan setelah mendengar cerita Utamayu maka gurunya pun menghadiahinya mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit apa pun.

Lain halnya dengan Arunika, dia disuruh gurunya untuk bersawah. Saat biji-biji padi mulai tumbuh, hujan lebat datang, air hujan yang melimpah tadi membuat pematang sawah rusak, karena dia takut air tadi merusak tanaman padinya maka diperbaikinya pematang tadi, namun setiap kali diperbaiki pematang tadi selalu saja jebol. Dan tanpa pilihan lain Arunika pun merebahkan dirinya untuk mengahalau air, menjadikan dirinya sebagai pengganti pematang. Karena hal itulah maka Gurunya menganugerahkannya kesaktian.

Murid yang terakhir; Weda diberikan tugas untuk menyediakan makanan di dapur untuk gurunya, apa pun itu dia selalu memenuhinya meski itu sesuatu yang buruk sekali pun, oleh sebab itu pada akhirnya Weda juga diberikan kesaktian berupa ilmu pengetahuan, mantra Veda dan kecerdasan.

Saat Ibuku menceritakan kisah itu aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin Ibuku ajarkan kepadaku, aku tahu bahwa kisah itu berisi tentang kesetiaan murid pada Guru mereka, namun aku masih terlalu kecil untuk memahami makna dari cerita itu. Maka ketika aku sudah dewasa dan sudah menjadi seorang Pertapa, aku baru menyadari pesan apa yang ingin Ibuku sampaikan. Ternyata bukan hanya tentang kesetiaan tapi juga tentang sebuah alasan; bahwa hidup itu harus teguh dan memiliki kepercayaan sebab jika kita percaya dengan apa yang kita lakukan maka kepercayaan itulah yang kelak akan menyelamatkan hidup kita. Lalu aku mulai mengerti mengapa Ayahku mau berkorban demi orang lain, mungkin itu juga karena rasa percayanya kepada orang itu. Segala kebaikan pasti akan berbalas kebaikan juga, demikian sebaliknya.

Seperti salah satu bait yang ada di dalam Weda : Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah. Yang artinya : Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberikannya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Parha.

Suara denyit papan akibat langkah kaki yang berat, membuat aku membuka kedua mataku, jubah gelap tertutup bayangan terseret menyentuh susunan anak tangga yang bertingkat. Aku memperhatikannya hingga jarak antara kami sangat lah dekat. Hanya pembatas besi yang ada di hadapanku itulah yang membuat kami berdua berbeda.

Saat tubuh kokoh itu merunduk dan jemari tangannya menyentuh salah satu besi kerangkeng, itulah saatnya bagiku untuk melihat wajah penuh amarah yang tersingkap dari bayangan malam.

“Kali ini aku tidak akan pernah lengah lagi,” ucapan itu seperti sumpah.

“Aku tidak pernah lari dari kenyataan. Kau lah yang telah buta karena rasa sakit hatimu,” jawabku sambil menatap matanya untuk bisa menembus dan melihat jiwa yang ada di dalam sosok perkasa itu.

Tawa keras menggelegar di ruang yang hanya ada kami berdua itu. Tawanya tidak terdengar murni dari hati, melainkan seperti tawa yang terlihat sebagai mimik pada topeng-topeng. Tangannya mencengkram jeruji besi semakin erat, kemudian wajahnya lebih dekat dari sebelumnya. “Kau akan merasakan rasa sakit yang sama seperti yang aku rasakan. Kau akan menerima balasan yang jauh lebih mengerikan dari apa yang aku terima. Kau akan seperti Para Naga dan akulah Sang Garuda.”

Apa pun yang diucapkannya sedikit pun tidak akan membuat aku takut. Karena dalam hidupku, rasa sakit adalah bagian yang sering menyertai, baik itu karena kehilangan atau pun karena siksaan secara fisik. Aku tidak akan goyah dan runtuh hanya karena hukuman yang mereka berikan, karena bagiku aku harus kuat seperti Arjuna yang menjalani pengasingan dirinya di penjuru Bharatawarsha selama duabelas tahun.

“Kau tahu?,” di wajah keras tadi muncul garisan kesedihan yang begitu dalam. “Saat dia tiada kedua bola matanya terbuka tajam. Dan ketika aku ingin menutupnya aku tak pernah sanggup melakukannya. Lalu aku bersumpah di dalam hati, aku akan menangkapmu kemana pun kau melarikan diri, serta membalas segala rasa sakit yang pernah kau perbuat.” Wajah yang mulai sedih tadi sedikit mundur, mencoba bersembunyi dari cahaya agar air mata yang sudah tak tertahan lagi bisa mengalir mengekspresikan kesedihan.

Aku tidak ingin memperpanjang perdebatan itu, aku mundur hingga menyentuh besi-besi kerangkeng yang ada di belakangku, mengangkat kedua tanganku yang berat dan kakiku yang juga sama, rantai-rantai itu bersuara karena saling sentuh lalu kembali sepi ketika aku diam membisu di dalam gelap. Setelah beberapa menit waktu berlalu dengan suara air mengalir dan kapal meregang, suara langkah kaki pergi terdengar kembali menapaki anak tangga, semakin mengecil hingga akhirnya menghilang begitu saja.

Malam merekah seperti biasa, keadaan di sekitarku berubah menjadi gelap gulita, cahaya yang ada di bagian atas menyelinap di celah-celah, membuat aku bisa melihat lintasan langkah-langkah. Entah dibagian kapal mana kah seseorang sedang bernyanyi, melantunkan sebuah kisah cinta Arjuna dan Srikandi. Tiba-tiba saja hal itu membuat aku teringat Jenta, pikiranku kembali dikuasai oleh gambaran jiwanya. Matanya yang indah, rambutnya yang panjang terurai menyentuh ilalang. Aku mengangkat tanganku, meraba pergelanganku yang terbelit rantai besi, di balik rantai besi tadi aku bisa merasakan ada benda lain yang melingkar menyimpan banyak kenangan.

Cahaya lentera turun perlahan lewat anak tangga kayu, hal itu membuat aku menurunkan kedua tanganku, aku diam menatap tajam ke depan menembus kegelapan, ternyata hanya seorang bocah laki-laki dengan lentara dan sepiring makanan untukku, dia menggantungkan lentera tadi di tiang penopang lalu membuka kerangkengku dengan hati-hati, pandangannya sedikit pun tidak beranjak dariku, hingga akhirnya dia meletakkan sepiring makanan di atas lantai dalam kerangkeng.

“Apa kau mengira aku akan menyerangmu?,” tanyaku ketika melihat gelagatnya itu.

Bocah tadi masih terlihat tegang ketika dia kembali mengunci pintu kerangkeng. “Ini pertama kalinya,” jawab bocah tadi dengan gugup.

Aku tersenyum sambil menjawab. “Ya, aku bisa melihatnya. Siapa namamu?.”

“Santanu,” jawabnya.

“Namamu seperti nama seorang Raja yang berasal dari Hastinapura, “aku sedikit memperlihatkan senyumku. “Kau tahu siapa yang sedang bernyanyi di atas itu, suaranya begitu merdu?.”

“Itu adalah Panglima Ganendra.” jawab Santanu sembari menarik anak kunci dan mengikatkannya pada tali yang membelit di pinggangnya.

Hingga Santanu pergi aku menjadi sunyi, aku tak menyangka bahwa suara merdu yang aku dengarkan itu adalah suara Ganendra. Kemerduan suara itu seperti memiliki jiwa, sebuah rasa cinta yang begitu dalam kepada seseorang yang tak akan pernah hilang dari hatinya.

Sebelumnya bisa dibaca di sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline