Lihat ke Halaman Asli

[Mahakama] 07/ Raut di Wajah Ganendra

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Berminggu-minggu waktu berlalu, musim hujan mulai menyerbu, kadang dingin membuat aku mengigil terbaring, sembari mendengarkan suara keru kapal di atas yang berteriak nyaring. Tak pernah sehari pun terlewat bagi Ganendra untuk melihat penderitaanku, sama seperti saat dulu aku di penjara. Kadang dia hanya menatap saja, kadang juga memaki-menyumpah dosa, dan kadang dia juga bercerita tentang kematian Sinta.

Perjalanan selama tiga puluh dua hari itu akhirnya berujung di pelabuhan, itu artinya masa pemindahanku telah tiba, apakah aku akan dipindahkan ketempat yang pernah aku tempati sebelumnya atau tempat lain yang jauh lebih mengerikan. Saat kapal sudah merapat, aku diseret keluar, rantai yang menjerat kaki dan tanganku terasa berat, aku menatap ke depan di balik rambutku yang panjang hampir menutupi wajahku. Aku melihat Ganendra berjalan dengan langkah penuh percaya diri, orang-orang yang menyambut kedatangan kami saling bisik ketika melihat sosokku yang diseret melintasi mereka.

Kawanan kuda sudah siap demikian juga dengan gerobak yang berisikan kerangkeng kayu, Ganendra memimpin perjalan menuju Istana sedangkan aku dimasukkan ke dalam kerangkeng kayu tadi, di sepanjang perjalanan semua orang menatapku dengan tatapan kebencian, seolah aku adalah bagian dari dosa yang berada di zaman Kali Yuga. Hal itu seperti pertanda bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi pada diriku; tak ada pengampunan yang ada hanyalah pengakhiran kehidupan.

Dinding kerajaan sudah terlihat, kokoh dan mustahil untuk ditembus, beberapa penjaga berdiri di pintu gerbang, dengan tombak panjang mengarah ke langit dan awan-awan. Lalu perlahan pintu gerbang dibuka dan barisan kuda paling depan pun masuk tanpa tergesa-gesa. Sudah lama aku tak melihat dunia di balik gerbang itu, sudah lama aku tidak berjalan melintasi halaman depan yang cukup luas itu, dan sudah lama atau mungkin sudah sangat lama saat-saat nyaman itu telah menghilang dari hidupku.

Ganendra turun dari kudanya, setelah dia maju beberapa langkah sesosok lelaki gagah penuh wibawa dan karisma, berdiri di depan rongga pintu, serempak orang-orang tunduk memberikan hormat dan ketika dia memberikan isyarat untuk bangkit, semua orang pun serempak kembali bangkit. Mata tajam setajam elang itu kemudian mengarah kearahku, aku tunduk tak berani membalas tatapan itu, karena aku pernah mendengar; hanya dengan sekali tatapan tajam saja orang yang ditatapnya bisa melihat kematian datang dan merenggut kehidupan. Sebenarnya aku tak pernah percaya dengan hal itu, namun aku juga tak berani untuk mencobanya.

Maharaja Mulawarman, demikianlah namanya dikenal, dia adalah anak dari Maharaja Aswawarman, cucu dari Kundungga—pembesar dari Kerajaan Campa—karismanya tidak jauh berbeda dengan Ayahnya yang mendapat gelar sebagai Vamsakarta yang artinya pembentuk dinasti. Rahangnya yang kokoh, tubuhnya yang tinggi tegap membuat dia terlihat semakin perkasa.

Jubah yang terseret di belakangnya bergerak ketika dia maju beberapa langkah agar matahari bisa menyentuh wajahnya yang bersinar karena ketampanannya. Dia menjulurkan tangannya ke depan dan memberikan isyarat pada Ganendra untuk maju mendekat. Ganendra maju perlahan seirama dengan pergerakan Sang Raja yang berputar mengibaskan jubahnya untuk kembali ke dalam Istana.

Cukup lama aku dibiarkan di halaman Istana, hingga hujan turun dan para penjaga berteduh tanpa berhenti mengawasiku. Aku menggigil kedinginan, meringkuk di dalam kerangkeng di antara tetesan hujan yang semakin deras, namun aku tahu hal ini hanyalah permulaan, karena aku sangat yakin hal yang jauh lebih buruk akan segera aku temui, dan apa pun yang terjadi aku harus kuat untuk bertahan.

Aku mencoba membawa jiwaku terbang ke tempat lain yang tenang, memfokuskan pikiranku ke hal-hal yang berisikan harapan kehidupan. Aku mencoba menenangkan diriku dari kegelisahan dunia yang selalu bergejolak di dalam hatiku, aku ingin jika aku mati saat ini aku sudah mencapai ke tahap Moksa, sehingga aku pun menemukan tujuan akhir dari sederetan kehidupan di dunia pana ini. Namun aku tersentak ketika bayangan Jenta muncul dalam ingatanku, aku pun kembali ke dalam dunia dan berharap bisa menemuinya lagi dan bahkan memilikinya seumur kehidupanku. Ternyata untuk mencapai tingkatan Moksa aku masih belum mampu karena jiwaku masih belum bisa lepas dari segala macam yang berbau dunia dan salah satunya adalah Jenta, perempuan cantik yang mampu mengahapus gundah dan lara.

Kupegang gelang yang melingkar dari pergelakang tanganku, kurasakan sentuhan jemari tangan lembut ketika kali pertama gelang itu dipasangkannya. Senyuman Jenta membayang penuh rindu, membuat aku berucap dalam hati, aku harus bertahan untuknya lalu suatu saat kembali menemuinya.

Dibalik tetesan hujan yang semakin lebat, Ganendra terlihat melewati pintu utama, saat dia terlihat muncul, beberapa orang yang berteduh bergegas kembali keposisi mereka masing-masing. Entah kenapa wajahnya terlihat sangat kecewa dan tidak puas. Apakah itu ada hubungannya dengan apa yang baru saja dibicarakannya bersama Sang Raja di dalam tadi?. Aku mencoba menebak. Namun hingga aku dibawa ke penjara gelap tempat aku dulu di penjarakan, aku tak pernah tahu apa yang menyebabkan Ganendra terlihat sangat kecewa.

Selama beberapa hari itu hanya sedikit aku melihat cahaya, penjara tempat aku ditahan dijaga sangatlah ketat daripada sebelumnya, kadang aku mendengarkan kisah mereka untuk mengetahui keadaan di luar, dan terkadang juga menghitung jumlah mereka untuk memastikan bahwa mereka memang berjumlah lebih dari dua belas orang. Dan aku sangat yakin mungkin penjaga yang berjaga jauh lebih banyak dari itu serta berlapis-lapis.

Saat aku berdoa,pikiranku mulai mempertanyakan apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya, apakah akan terus seperti ini hingga ajal menjemputku nanti atau ini semua hanyalah tenggang waktu yang aku miliki untuk terus berdoa dan mengingat Yang-Maha-Esa sebelum hukuman mati yang sempat tertunda kembali dilaksanakan. Apakah aku akan digantung seperti Ayahku. Pikirku tak percaya. Namun aku yakin ketika waktu yang aku resahkan datang, itu adalah sebuah garisan takdir yang tidak akan pernah mampu dirintangi oleh siapa pun, atau mungkin oleh Sang Raja sekali pun.

Entah hari sudah malam, atau malam sudah berlalu, di dalam penjara yang lembab ini semua itu sulit untuk dibedakan, kadang cahaya remang yang kulihat bergoyang di ujung lorong hanyalah cahaya yang berasal dari obor yang dipasang di sepanjang lorong untuk menerangi langkah para penjaga. Lalu suatu ketika di saat aku baru terbangun dari tidurku, sebuah cahaya menerangi sekitarku, di depan cahaya tadi berdiri sesosok gelap yang tajam menatapku dengan raut muka kebencian. Aku bangkit dan mendekat kearah jeruji, sosok tadi berpaling dan meninggalkanku pergi. Aku berteriak kearahnya dengan keresahan yang perlahan menguasai keadaanku.

“Ganendra, tidak kah kau puas dengan apa yang kau lakukan kepadaku,” teriakku berkali-kali.

Namun hingga suaraku hanya tersisa gema di telinganya, dia tidak berpaling dan mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas teriakanku itu. Aku tak tahu apakah dia puas dengan semua yang telah dia lakukan, namun aku yakin di sisi perasaan kecilnya terselip sebuah penyesalan yang begitu dalam atau juga rasa penyesalan itu sudah lama mati oleh perasaan dendam yang tidak pantas dia lontarkan kedalam kehidupanku.

Entah berapa hari sudah waktu berlalu, namun seperti yang aku rasakan saat ini; waktu berjalan sudah sangat lama. Lalu tiba-tiba Ganendra datang lagi, kali ini dia bersama empat orang lelaki berbadan gempal, berkepala botak. Ganendra memerintahkan kepada mereka untuk mengeluarkanku dari penjara dan membawaku menyusuri lorong yang remang-remang. Tubuhku lemah meski pun aku baru saja menghabiskan makanan yang diberikan oleh salah satu penjaga kepadaku beberapa waktu yang lalu. Mereka menyeretku, bahkan ketika aku tidak lagi mampu melangkahkan kakiku. Empat orang tadi mengikuti langkah Ganendra yang memimpin di depan, melewati beberapa pintu dengan beberapa orang penjaga yang berjaga di setiap pintu tadi.

Saat mereka melewati pintu terakhir yang berukuran lebih besar, terang cahaya siang membuat mataku silau, perih dan sulit beradaptasi, aku mengerjibkan mataku beberapa kali hingga akhirnya secara perlahan penglihatanku kembali membaik. Aku diangkat dan dimasukkan ke dalam kerangkeng kayu lalu kedua kaki dan tanganku di kunci pada borgol kayu yang kuat dan menyatu dengan kerangkeng. Ketika gerobak mulai bergerak mengikuti langkah kuda yang berada di garis depan, aku lagi-lagi bertanya di dalam hatiku. Kemana aku akan dibawa. Dan aku sangat yakin saat itu perjalanan kami tidak kembali menuju Istana karena arah yang diambil berlawanan dengan arah menuju Istana.

Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, hingga matahari sudah sangat rendah kami belum juga mencapai tujuan. Ganendra menghentikan perjalanan sesaat untuk beristirahat, di bawah pohon ketapang yang rindang dia bersandar, memandang ke barat, menikmati tenggelamnya sang surya yang kuning merona. Aku menundukkan kepalaku, mencoba untuk melakukan bhajan, kemudian berdoa dan mengucapkan harapan-harapan yang akhir-akhir ini ingin aku miliki. Dan semoga harapan ini menjadi kenyataan, walau bagaimana pun caranya. Bisikku pada diriku sendiri.

Sebelumnya bisa dibaca di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline