Lihat ke Halaman Asli

[Langit Terbelah Dua] Pohon Malaikat

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14192126661059969661

[caption id="attachment_384851" align="aligncenter" width="576" caption="Sumber Gambar : http://fc07.deviantart.net"][/caption]

“Tak ada yang abadi di DuNia ini,

Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah

Dan dari Neraka yang terkutuk”

07 / Pohon Malaikat

Tak ada tempat yang lebih nyaman, indah dan tentram selain surga yang diciptakan oleh Sang Penguasa Semesta. Tempat pohon tumbuh subur dan tak pernah mati, tempat makhluk hidup dengan tentram, tanpa rasa iri, tanpa dendam dan amarah. Surga merupakan taman yang tidak berujung, memiliki sungai yang jernih dan menyegarkan, memiliki pohon yang tidak pernah berhenti untuk berbuah. Tak ada bau busuk di dalam surga, yang ada hanyalah aroma harum menentramkan hati. Tak ada yang tahu sejak kapan surga itu ada dan kapan diciptakannya, yang diketahui hanyalah bahwa tempat itu memang benar-benar ada dan dihuni oleh mahkluk-mahkluk yang Sang Penguasa Semesta inginkan berada di dalamnya.

Surga bagaikan sebuah lautan indah yang tidak akan pernah bosan untuk dikunjungi, semakin dipandang maka akan semakin indah, semakin dirasa maka akan semakin tentram perasaan hati, sebab segala yang berasal dari surga itu sifatnya kekal serta abadi.

Lucis bergerak dengan mengelok-leokan tubuhnya, tubuh ular yang dirasukinya menimbulkan bekas di tanah, terkadang dia berhenti sejenak dan mengeluarkan lidahnya untuk melacak keberadaan Mada di tempat itu. Lidahnya merah bercabang menjadi sensor penunjuk jalan yang sangat peka. Namun geraknya terhenti tiba-tiba, dia terhenti di tepi sebuah sungai yang sejuk, sebuah sungai yang bercahaya bagaikan berlian ketika cahaya menyiraminya.

Jejak Mada memang berakhir di tepi sungai tadi, namun ada yang aneh dari jejak itu, jejak itu tidak hanya berasal dari kaki Mada, namun juga berasal dari mahkluk lain yang serupa dengan Mada, setahu Lucis hanya Mada yang memiliki jejak seperti itu. Apakah Sang Penguasa Semesta telah menciptakan mahkluk yang mirip dengan Mada. Lucis mulai bertanya-tanya.

Sungai itu terlalu suci bagi Lucis untuk disebrangi, dosa yang melekat pada dirinya membuat dia jadi terkutuk jika tersentuh air sungai tadi, oleh sebab itu dia lebih memilih mencari jalan lain selain berenang untuk menuju seberang sungai. Lucis pun menyusuri sungai tadi, namun cukup jauh jalan yang disusurinya tidak juga dia temukan cara atau jembatan untuk menyebrangi sungai tadi.

Karena merasa kelelahan Lucis pun beristirahat di atas batu di tepi sungai, namun dia tidak hanya bermalas-malasan begitu saja, dia masih terus mengawasi sekitar sembari memikirkan cara bagaimana agar bisa menyebrang.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin demikianlah kata yang cocok bagi Lucis saat itu, tanpa disangka-sangka, diseberang sungai terlihat sesosok makhluk yang menyerupai Mada namun dengan penampilan yang berbeda. Sosok tadi berambut panjang terurai, memiliki pesona yang sulit digambarkan dengan kata-kata, Lucis pun sempat tercengang dibuatnya. Sosok tadi tidak lain adalah Eva, pasangan hidup Mada di surga.

Lucis turun dari batu kemudian memanggil makhluk tadi dari seberang sungai. “Wahai kau yang ada diseberang,” panggilnya dengan suara yang lantang namun bersahabat.

Eva menatap kearah Lucis kemudian memperlihatkan senyum cemerlangnya, seolah pelangi sedang melengkukng di angkasa dan damai menguasai dada. “Apakah kau memanggilku?,” tanyanya sopan.

“Iya, aku memanggilmu, bisakah kau menolongku?.” Tanya Lucis pula.

“Menolong apa?,” Eva bertanya penuh antusias karena belum pernah sebelumnya ada mahkluk lain yang meminta tolong padanya.

“Membantu aku menyebrangi sungai ini.”

Eva yang tidak tahu niat jahat Lucis, menyanggupi permintaan tadi, dia pun menyebrang kemudian membawa Lucis kesebrang sungai. Saat itulah Lucis mulai bertanya siapa Eva sebenarnya. Eva menjelaskan tentang dirinya, tentang hubungannya dengan Mada serta tentang penciptaannya bahwa dia berasal dari tulang rusuk Mada sendiri.

Sesampai diseberang Lucis masih banyak bertanya, bahkan dia mulai bercerita tentang suatu tempat yang disebut dengan nama DuNia. “Apakah kau tahu tentang DuNia?,” tanya Lucis memancing rasa penasaran Eva.

“Apa itu DuNia?,” sangat mudah bagi Lucis membuat Eva penasaran.

“DuNia adalah sebuah tempat luas yang tidak bisa dilihat ujungnya, angkasanya berhias awan dan mentari di siang hari, lalu bulan dan bintang di malam buta. Di sana mahkluk hidup bergerak dengan sendirinya, tanpa aturan, tanpa ikatan yang memaksa mereka melakukan sesuatu. Disana terdapat banyak sungai, danau serta lautan yang biru menyegarkan mata dan yang paling penting di sana hidup mahkluk yang hampir menyerupai kau dan Mada.”

Eva melukiskan kata-kata Lucis dalam angannya walau sulit baginya untuk membayangkan dengan sangat nyata. “Bagaimana cara agar bisa pergi kesana?,” tanya Eva akhirnya.

Di dalam hati Lucis tertawa, dia tahu bahwa Eva sudah masuk ke dalam perangkapnya. “Apakah kau tahu tentang pohon malaikat, pohon yang memiliki daun berwarna emas, rindang penuh pesona serta memiliki buah merah yang berdetak bagaikan seakan hidup.” Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan.

Eva berpikir dan mengingat tentang pohon yang Lucis maksud. “Apakah yang kau maksud itu pohon yang berada di tengah taman, pohon yang berpagar dan indah itu? Tapi kami dilarang untuk mendekati pohon itu!”

“Aku tidak menyuruhmu untuk mendekati pohon itu,” Lucis langsung memotong dengan cepat. “Jika kau ingin pergi ke DuNia kau harus memakan buah yang berasal dari pohon tadi.”

“Bagaimana caraku memetik buahnya jika mendekatinya saja tidak boleh,” Eva mulai bingung namun dia masih penasaran.

“Sayang sekali!,” Lucis menggelengkan kepalanya. “Tapi hanya itu cara yang aku tahu, sebab aku sudah membuktikannya.”

“Jika kau sudah membuktikannya, berarti kau sudah melanggar perintah Sang Penguasa Semesta untuk menjauhi pohon itu.” Eva menyimpulkan.

“Tapi tidak terjadi apa-apa padaku,” nada Lucis melakukan penyangkalan. “Jika kita sudah berada di DuNia kita bisa kembali pergi ke surga lewat jembatan pelangi burung merak yang mandi setelag hujan.”

Eva gundah gulana, dia diselimuti rasa penasaran yang begitu besar namun di sisi lain dia juga takut melanggar perintah Sang Penguasa Semesta. “Aku akan bertanya kepada Mada terlebih dahulu,” ucap Eva tiba-tiba.

“Jangan!,” Lucis hampir berteriak. “Maksudku, tidakkah pohon malaikat berada tidak jauh dari sini, jika kita harus mencari Mada terlebih dahulu maka akan membuang-buang waktu, bagaimana jika kita mampir terlebih dahulu di pohon tadi, memetik buahnya dan membawanya kepada Mada?.”

Eva masih meragu. “Bagaimana jika dia marah dan tidak mau memakan buah yang sudah terlanjur kupetik?.” Dia balik bertanya.

“Jika kau membujuknya dia pasti akan mengerti, lagi pula tak perlu harus banyak memakan buah itu, cukup satu gigitan saja sudah bisa membawa kalian ke DuNia.” Lucis berpikir sejenak. “Apakah pernah Mada marah padamu?”

Eva menggelengkan kepalanya. “Dia tak pernah marah padaku, dia sangat menyayangiku.”

“Kalau begitu kita tak usah membuang waktu kita terlalu lama,” Lucis mulai maju menyusuri jalan yang berhias rumput lembut. “Ayo, kita menuju pohon malaikat,” senyum tipuan mengembang penuh bahagia.

Mereka berdua menyusuri jalan lurus, melewati pepohonan rindang yang menaungi, warna-warni bunga tumbuh bagaikan lukisan, bergoyang seolah mengiringi irama langkah kaki Eva yang penuh semangat. Dan tak lama mereka berjalan, aroma harum pohon malaikat sudah tercium dibawa angin, pagar emas yang mengelilingi pohon tadi indah menggoda mata. Eva dan Lucis terhenti di pintu pagar yang tertutup rapat.

“Pintunya tertutup,” ucap Eva sambil melirik kearah Lucis.

“Dorong saja, pintu itu tak pernah terkunci.” Ucap Lucis penuh semangat.

Eva maju mendekati pintu, kemudian mendorongnya perlahan dengan tangan kiri. Suara yang tercipta cukup kuat membahana, bergema disekitar pepohonan lain yang tumbuh disekitarnya. Eva masuk menginjakkan kaki kirinya ke rerumputan yang tumbuh di bawah pohon tadi, rerumputan seolah berubah hidup, bergoyang menyentuh telapak kaki Eva. Eva meloncat ke akar pohon yang bercabang bagaikan ranting, bergerak dengan hati-hati menuju kearah dahan pohon yang condong ke bawah, dibagian dahan itu terdapat sebiji buah merah yang berdetak seolah memanggil Eva dan menyuruh Eva segera memetiknya.

Tanpa berpikir lagi Eva langsung memetik buah tadi, buah itu terasa hangat ditangan Eva, dan ketika dipetik detaknya berhenti seketika. Semakin dipandang, warna merah buah tadi semakin menggoda nafsu Eva untuk memakannya. Cukup satu gigitan saja. Pikir Eva mengambil keputusan.

Satu gigitan yang menciptakan nikmat luar biasa ketika lidah menyentuh daging buah tadi, dikunyahnya tiada henti hingga halus dan meresap masuk ke dalam tenggorokannya. Namun begitu ditelan entah mengapa dadanya rasa menyesak, dia perlahan menuju ke luar pagar sembari memegang dadanya, namun saat dia mencari teman barunya tadi, temannya tadi sudah menghilang begitu saja, yang tersisa hanyalah sisa kulit ular yang mengelupas di atas rerumputan.

Eva tak kuasa menahan sesak dadanya, dia mencoba berlari mencari Mada, buah malaikat yang tadinya dimakannya masih digenggamnya erat. “Mada...Mada...dimana kau?,” panggilnya dengan gelisah. Karena tak mampu lagi menahan sesak dia pun terjatuh ke atas bunga-bunga yang tumbuh liar, napasnya rasa menyempit, dadanya perih dan sesak tak tertahankan, dan saat dia mengangkat tangan kanannya Mada menyambut tangannya dengan wajah panik.

“Apa yang terjadi padamu,” Mada Panik bukan kepalang.

“Dadaku sakit dan sesak, aku sudah memakan buah malaikat,” ucapnya sambil memperlihatkan bekas gigitan dibuah yang ada ditangan kirinya.

Ingin rasanya Mada berdoa kepada Sang Penguasa Semesta, namun dia takut amarah menerpa mereka, karena Mada sadar bahwa Eva sudah melanggar perintah Sang Penguasa Semesta, walau sesungguhnya Sang Penguasa Semesta mengetahui segala sesuatu yang terjadi.

“Apakah kau akan membiarkanku begitu saja,” tanya Eva dengan linang air mata.

“Aku tak tahu harus berbuat apa, tapi aku sangat mencintaimu, andai saja ada cara yang bisa menolongmu, apa pun itu akan aku lakukan.” Air mata Mada sudah hampir melimpah dari kantong matanya. Tak pernah rasa sakit akan kehilangan sesuatu menghampiri Mada, baru kali ini dia benar-benar merasa takut selain rasa takut kepada Sang Penguasa Semesta.

“Jika kau mencintaiku, dan ingin selalu bersamaku, maka makanlah juga buah ini, agar apa yang aku rasakan bisa juga kau rasakan, agar kita terus bersama apa pun yang terjadi.” Suara Eva lirih memilukan.

Tak ada pilihan lain yang bisa dilakukan oleh Mada, waktu semakin sempit, dia tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada Eva dan kehilangan bukanlah pilihan yang dia inginkan. Dipungutnya buah malaikat yang tergeletak disamping tangan kiri Eva, digigitnya dengan terpaksa, dikunyahnya dengan mulut bergetar. Maafkan hamba wahai Sang Penguasa Semesta. Ketika potongan buah tadi melewati tenggorokannya, rasa terbakar mengalir tak tertahankan. Mada terbaring disamping Eva, memegang tangan kanan Eva dengan sangat erat.

“Aku akan selalu bersamamu!,” ucap Mada lirih dengan air mata mengalir kesamping.

Mata mereka menatap ke atas, jiwa mereka rasa tenggelam tak tentu arah, mereka terombang-ambing bagaikan di tengah badai yang mengamuk, semakin erat mereka saling berpegangan semakin kuat hempasan badai mencoba memisahkan mereka, hingga akhirnya mereka terseret kearah yang berbeda, terpisah ketempat yang tidak mereka ketahui. Angin menyentuh tubuh mereka berhembus kencang dari semua penjuru arah. Mereka berdua berada di ketinggian, diantara awan putih yang menyisih karena langit senja sedang terbelah.

Penjuru daratan siap menyambut mereka berdua, berhiaskan teriakan dan rasa pilu yang mendalam, mereka berdua jatuh di tempat yang berbeda, jatuh memisah bagaikan bintang jatuh yang pecah dan terbelah dua.

Lalu bagaimana nasib Lucis yang masih berada di surga? Apakah dia juga jatuh bersama Mada dan Eva. Jawabnya adalah bahwa Sang Penguasa Semesta telah membuangnya ke lubang dalam yang panas yang berada di inti DuNia, dia terbakar, tersiksa namun akan terus abadi.

*

Sebelumnya bisa dibaca disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline