[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="http://1.bp.blogspot.com/"][/caption]
“Tak ada yang abadi di DuNia ini,
Selain apa-apa yang berasal dari Surga yang indah
Dan dari Neraka yang terkutuk"
08 / Cahaya Berekor
Rembulan yang menggantung di langit malam terus saja mengikuti langkah Haon dan Dork, walau terkadang rindang pepohonan mencoba menyembunyikan keberadaan mereka. Terkadang semak belukar terlihat bergerak, membentuk bayangan malam yang mencurigakan. Haon dan Dork harus selalu waspada, menajamkan semua indra. Bahaya bisa datang dari semua penjuru, terkadang tanpa petunjuk, tanpa peringatan dari alam sekitar.
Lalu tiba-tiba dari arah depan muncul sepasang kuda yang saling kejar, dua ekor kuda tadi terlihat panik, aura menyeramkan yang tersebar disekitar hutan membuat insting binatang mereka bekerja dengan sangat sensitif.
Haon dan Dork menangkap kuda tadi, kuda yang memang merupakan kuda istana yang sebelumnya ditunggangi oleh prajurit kerajaan. Kuda yang berhasil lari dari serangan Purda, dan mencoba untuk mencari jalan keluar hutan agar jauh dari rasa mengerikan yang membuat resah.
Haon mengelus kepala kuda tadi, mencoba membuat kuda yang berwarna abu-abu tenang. Napas yang keluar dari sepasang lubang hidung kuda tadi membentuk asap embun malam yang dingin, ritmenya tidak setabil, namun setelah ditenangkan perlahan keadaan kuda tadi mulai kembali tenang.
“Dengan ini kita bisa secepatnya keluar dari hutan.” Ucap Dork yang perlahan meloncat menunggangi kuda berwarna hitam.
Mereka berdua memacu kuda dengan cukup cepat, walau keadaan sekitar gelap menghiasi penjuru. Haon di depan memandu sedangkan Dork mengikuti Sang Raja dengan seksama. Lalu suara lolongan serigala membuat kawanan jangkrik menahan napas. Suara itu terdengar cukup jauh, mengalun merdu namun mencekam seperti sebuah pertanda bahwa bahaya akan segera datang.
Belum sempat hilang gema suara lolongan serigala di antara pepohonan terdengar, sesuatu yang cepat, mengejutkan, menyerang Dork yang sedikit tunduk ketika berkonsentrasi memacu kuda. Dork dicengkram oleh sepasang tangan, menariknya kearah semak yang tinggi dan lebat. Dia terguling di tanah sambil berteriak menahan benturan yang cukup keras.
Kuda yang tadi ditunggangi oleh Dork tidak lagi terkendali, langkahnya semakin cepat namun tak tentu arah, dan ketika kuda tadi melewati Haon, barulah Haon sadar bahwa Dork sudah tak ada lagi dibelakangnya. Haon menarik kekang kuda, memiringkan kepala kuda untuk menghentikan langkah kuda yang sudah terlalu cepat.
Haon setengah berteriak memanggil nama Dork, memutar kudanya untuk mencari di mana menantunya itu terjatuh. Langkah kudanya mulai stabil melambat, Haon mulai merasakan perasaan takut yang sempat memenuhi jiwanya sebelumnya. Perasaan takut itu semakin nyata, seolah Purda berada dibelakangnya.
“Dork.....” teriak Haon mengulanginya beberapa kali. Suaranya menggema bersahutan, semakin lama semakin mengecil hingga akhirnya menghilang tanpa jawaban.
Haon menahan kekang kudanya, berdiam diri sambil mengawasi kesekitar, sunyi sepi menghiasi, menyusup diantara bayangan malam yang terlihat bergerak karena angin menyentuh dedaunan. Entah nyata atau hanya karena terbawa perasaan takut, diujung lorong alam yang tercipta dari pepohonan, bayangan bergerak cepat seperti kilatan petir, hanya sejenak kemudian sunyi kembali.
Haon menarik bagian kanan kekang kuda, membelokkan arah kuda agar secepatnya berpaling, kemudian dengan cepat kedua kaki Haon memacu pergerakan kuda agar mulai berlari menyusuri lorong hutan yang tak tentu arah. Setiap langkah kuda Haon yang semakin cepat, tersembunyi pergerakan cepat dari sebuah bayangan yang meloncat dari pohon ke pohon lainnya, mengikuti Haon dan mencari celah untuk melancarkan serangan.
Dan seperti sebuah kembang api yang meledak di tengah langit, seperti bintang jatuh yang pernah dilihat Haon baik ketika di kabin kamarnya atau pun seperti di dalam mimpinya. Awalnya hanya seperti titik di kejauhan yang berkedip, namun semakin lama membentuk ekor panjang bagaikan garis lurus membelah langit, meluncur cepat tanpa penghalang, miring menghujam daratan. Cahaya berekor tadi meluncur lurus melewati pepohonan, melewati atas Haon yang terus memacu kuda sambil sesekali menatap kearah cahaya tadi.
Kuda dipacu semakin kencang, mengikuti cahaya yang semakin merendah dan siap menabrak pepohonan yang bergoyang tertiup angin malam. Fokus Haon terbagi, dia tak bisa berkonsentrari terhadap jalan yang dilewatinya, batang pohon tumbang yang menghalangi jalan sempat mengejutkannya, namun dia masih cukup sigap menarik kekang kuda agar kuda meloncat melewati batang pohon tadi. Suara dedaunan yang terberai semakin dekat, demikian juga dengan perasaan mengerikan yang terus menjadi semakin besar.
Purda berada di belakang Haon, meloncat dari pohon ke pohon, cepat gesit dan akurat. Cahaya berekor sudah sangat rendah, panasnya mulai menyentuh dedaunan, bekas terbakap pada dedaunan meninggalkan aus yang semakin membesar, hingga akhirnya cahaya berekor tadi menghujam ke tanah di balik tebing. Haon yang baru menyadari bahwa didepannya ada tebing yang terjal menarik tali kekang kuda agar kuda berhenti, namun lari kuda sudah terlanjur cepat, karena tak ada pilihan lain Haon pun mencabut pedang yang disandangnya di pinggang, memegangnya erat dengan kedua tangannya, lalu meloncat ketika kuda sudah berada di depan tebing, kuda tadi mencoba berhenti namun malah terdorong ke depan dan terjungkal ke dalam jurang sedangkan haon berusaha menahan tubuhnya dengan menancapkan pedang di ujung tebing yang terjal. Pedang menancap cukup kokoh, tertahan oleh akar pohon yang mencuat di pinggir tebing.
Napas Haon tersengal-sengal, jantungnya berdetak tak kalah hebat, namun dia beruntung tidak terjatuh ke dalam jurang. Akan tetapi ketika dia ingin memanjat ke atas, sebuah wajah beringas menjenguk kearah Haon, kengerian itu muncul lagi, kali ini begitu kuat, sampai-sampai seluruh tubuh Haon bergetar hebat.
Purda tersenyum sinis tanpa mengucapkan sepatah kata pun, rambut kuning kemerahan yang acak tak karuan mengembang diterpa angin malam. Perlahan terdengar suara bagaikan tulang tumbuh di tangan kiri Purda, menjulur kemuka dengan ujung runcing dan tiap sisinya dihiasi kobaran api yang mematikan.
Pedang pencabut nyawa yang diberikan oleh Lucis di Gua Our kepada Purda terlihat berkobar haus darah, gagangnya yang kokoh dicengkram oleh Purda dengan sangat kuat, diputarnya menghadap ke bawah dengan kedua tangan mencengkram kuat, dia mengarahkan pedang tadi tepat kekepala Haon.
Cahaya berekor yang meluncur ke dalam jurang menyisakan kobaran api di kedua bola mata Purda, namun ketika dia ingin menghujam Haon dengan pedangnya, cahaya berekor tadi lebih dulu menghujam tanah, memancarkan sinar terang yang merambat hingga ke atas, sekitar menjadi terang bagaikan siang, baik Haon atau pun Purda mencoba memalingkan wajah mereka karena cahaya tadi begitu menyilaukan. Tanah bergetar hebat, Haon menguatkan pegangannya pada pedang yang menahannya disamping tebing. Mereka tenggelam di dalam ladang cahaya yang hangat namun menenangkan. Dan ketika cahaya tadi usai, meredup dan menghilang Purda juga ikut lenyap bagaikan kabut asap yang baru saja diguyur hujan lebat. Tanpa sisa, tanpa jejak.
Haon memanjat kembali ke atas, kemudian mencabut pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya, dia menatap lurus ke dalam hutan, semuanya terlihat tenang, tak ada pertanda bahwa Purda berada di sekitar situ. Kemudian Haon berpaling kearah lokasi cahaya berekor tadi jatuh, kemudian pandangannya menyusuri jalan sempit yang ada di pinggiran tebing, jalan sempit itu akan mengantarkannya ke jalan yang berada di seberang tebing dan sekaligus membawanya ke lokasi jatuhnya cahaya berekor tadi.
Tanpa menunggu untuk menimbang tindakan yang akan dilakukannya, Haon mulai menyusuri jalan sempit di samping lereng tebing, cahaya rembulan menuntun langkahnya agar tidak terkilir dan jatuh ke dalam jurang. Ketika memasuki jalan yang agak luas, terlihat bekas dedaunan terbakar membentuk rongga, pertanda bahwa jarak jatuhnya cahaya berekor tadi semakin dekat.
Haon memperlambat langkahnya ketika dia sampai kelokasi tempat pepohonan miring, tumbang serta hangus termakan api, bagian tanah yang berada di antara pepohonan tadi membentuk garis panjang setengah lingkaran, bekas gesekan benda yang cukup besar dengan dorongan keras lurus ke depan membnetuk jalur yang cukup lapang untuk dilewati.
Haon meloncat ke dalam jalur tadi, kemudian menyusurinya hingga ujung dan tepat di ujung terdapat sebuah bongkahan batu besar, berasap namun terbelah dua. Bongkahan itu berbentuk bulat, besar dan terlihat sangatlah kokoh. Haon mesih memperhatikan dengan seksama, dia mendekat ke bagian celah bongkahan tadi dan mencoba mengintip apa yang ada di dalam bongkahan itu.
Sebuah pergerakan di dalam bongkahan tadi membuat Haon mundur penuh siaga. Tangan kirinya sudah memegang gagang pedang, apabila muncul serangan mendadak, haon siap menarik pedangnya dan menghunuskannya ke depan dengan sangat cekatan.
Sepasang tangan menjulur keluar dari celah tadi, jaring-jarinya putih namun kokoh, kuku-kukunya bersih dan rapi, dengan tenaga yang tak bisa diukur oleh Haon kekuatannya, jemari-jemari tadi mencoba membuka bingkahan tadi dari dalam, dan dengan perlahan namun pasti bingkahan tadi semakin retak hingga akhirnya terbelah sempurna.
Asap yang menghiasi isi bongkahan tadi menghalangi pandangan Haon, namun karena udara malam yang berhembus mulai menguat, perlahan terkuaklah misteri yang tersembunyi dibalik kabut, sebuah misteri yang tidak pernah terbayangkan oleh Haon sebelumnya.
*
Sebelumnya bisa di baca disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H