Ini adalah adalah sebuah pengalaman "seru" kami. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman capek, sumpek, dingin, nyeri tulang, tumplek blek (baca: bercampur) jadi satu. Sumbernya satu, akibat macet cet di jalan karena banjir. Mungkin rekan-rekan K-ners diseputaran Jakarta juga pernah mengalami pengalaman serupa. Tinggal nanti bisa kita adu. Siapa yang lebih lama parkir di jalan karena macet banjir,hehe..
Kejadiannya belum lama. Masih di tahun ini, tepatnya di awal tahun 2020. Kira-kira mungkin sekitar bulan Januari. Memang waktu itu selama beberapa hari sering turun hujan lebat. Kami, saya dengan istri biasa pulang, start dari kantor istri jam 17.30. Hanya 25 menit perjalanan. Maghrib sekitaran pukul 18.00 kami sudah tiba dirumah. Itu biasanya. Tetapi hari itu sungguh spesial. Hujan memang sudah turun sedari pukul 12 siang.
Lebat sekali dihiasi petir yang menyambar bersahutan. Menggelegar bagai auman singa ditengah rimba raya. Hujannya berlangsung lama hingga pukul 3 sore. Artinya 3 jam lamanya ia turun. Jangankan 3 jam, 1 jam hujan lebat saja sudah menyebabkan genangan dimana-mana. "Wah sudah pasti banjir ini" pikir saya.
Dan benar saja, sejak pukul 3 sore sampai pukul 5 sudah banyak bertebaran berita dimedia sosial maupun lewat jejaring WAG daerah mana saja yang banjir. Sudah heboh pula kawan-kawan di kantor. Heboh karena bingung mau pulang lewat mana. Dimana-mana sudah terjadi antrian kendaraan yang tak bisa "menyeberangi" banjir.
Sekedar info aja, di daerah saya tinggal di Tangerang kalau sudah banjir, beberapa alternatif jalan terendam sehingga sukar menentukan jalan mana yang akan dilewati. Mencoba memutar lebih jauh akan lebih cepat sampai. Tapi dengan catatan: kalau lagi beruntung. Kalau apes, cilaka duabelas, kasihan deh loe..
Perjalanan pulang pun dimulai...
Petualangan kami segera dimulai. Start dari kantor istri pukul 17.30. Dua kilometer pertama lancar kami lewati. Tetapi petaka kemudian muncul. Kendaraan sudah stuck tak bergerak. Benar-benar berhenti ditengah suasana dingin sehabis hujan. Maju tak bisa, balik arah pun tak bisa karena sudah penuh kendaraan.
Padahal jarak rumah kami tinggal 8 kilometer lagi. Orang jalan kaki saja tidak bisa. Apalagi motor. Terlebih lagi mobil. Jadilah kendaraan parkir berjamaah di jalan. Mesin kendaraan dimatikan. Ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang hanya bisa diam termangu menunggu kemacetan yang tak kunjung ada titik temunya. Untung kala itu belum ada corona. Kalau ada, mungkin Tangerang sudah langsung masuk zona hitam dalam semalam!
Pangkal muara kemacetan sebenarnya hanya karena genangan didepan kami sepanjang 50 meter. Genangan tersebut karena luapan sungai yang membelah jalan raya. Jadi genangan tersebut merupakan arus yang mengalir. Maka was-was juga kendaraan mau menerjang genangan tersebut. Sangat berbahaya. Rentan terbawa arus yang kuat.
Dari pukul 17.30 saya langsung loncat ke 3 jam kemudian saja ya kawan.. Kalau saya ceritakan menit demi menit takutnya anda bosan. Kira-kira pukul 20.30 malam mulai bisa jalan pelan-pelan. Air sudah mulai bisa dilewati. Jangan bayangkan kecepatan sepeda onthel. Kecepatannya sama seperti orang berjalan. 10 kilometer, eh bukan, 5 kilometer per jam. Endingnya, pukul 11 malam kami baru tiba dirumah.