Lihat ke Halaman Asli

Meirri Alfianto

TERVERIFIKASI

Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

"Anjay" yang Akan Terus Hidup dalam Masyarakat

Diperbarui: 5 September 2020   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. (sumber: KOMPAS/TOTO SIHONO)

"Anjay" tiba-tiba menjadi viral dan menarik atensi masyarakat. Kalau saya menulis topik ini, tentu tidak hanya tentang "anjay" saja. Ada banyak kata sejenis yang menjadi ungkapan atau kata yang dianggap olokan yang sudah biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari masyarakat. 

Dalam tradisi-tradisi kedaerahan, banyak kata-kata lain yang beredar di masyarakat dan sudah sangat akrab ditelinga. Mohon maaf, sebut saja misalnya jancuk, asu, dan kawan-kawannya. 

Kata, menurut saya tidak salah. Apalagi anjing. Salahnya di mana anjing itu sehingga harus menanggung dosa banyak orang?

Yang salah adalah tujuan manusia mengucapkan dan cara pandang manusia. Di daerah saya, kata-kata tersebut sudah sangat lazim digunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Namun tentu ada batasannya. 

Jancuk dan kawan-kawan hanya digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya untuk menandakan hubungan keakraban antar teman. Tentu saja apabila berbicara dengan orang yang lebih tua, kata ini tidak akan digunakan. Pun demikian halnya jika lawan bicaranya adalah orang baru. Semakin kasar berarti menandakan bahwa hubungannya kekerabatannya semakin dekat. 

Kadang-kadang dalam pertunjukan dagelan (humor) jawa, semakin kasar akan semakin mengocok perut penontonnya. Coba saja search di Youtube dagelan Cak Percil atau show grup musik Pecas Ndahe. Kembali ke persoalan kata, berikut saya contohkan penggunaan katanya. 

Contoh bila saya berbicara dengan guru, "Saking pundi Pak?" (Darimana Pak). Ini adalah golongan kalimat kromo Inggil (bahasa Jawa halus)

Berbeda dengan saya berbicara dengan teman dekat saya.

"Cuk, soko ngendi awakmu?" (Darimana kamu?)

Ada norma tersendiri, tidak sembarang diucapkan. Bila kata diucapkan dalam kondisi dan situasi yang tepat, tidak akan jadi persoalan. Yang menanggapi pun tidak akan marah. Contoh lagi yang paling dekat dan sudah disaksikan banyak orang. Tengoklah dalam film 'Tilik'. 

Bila anda perhatikan, sopir truk yang membawa Bu Tejo dan ibu-ibu kampung itu dipanggil 'Gotrek'. Apa itu nama asli? bukan. Mana ada orang Jawa bernama 'Gotrek'. Yang ada itu adalah nama wadanan atau kalau dalam istilah bahasa Indonesia nama olokan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline