Nasib perantauan itu memang dilematis. Terkadang kondisi memaksa untuk memendam rindu kepada kampung halaman. Membuat sungkem kepada orang tua menjadi tertunda. Tak jarang pula saudara yang sakit tidak bisa dikunjungi. Bukan karena tak ingin pulang, namun segala hiruk-pikuk di perantauan lah yang seakan-akan menjadi sekat penghalang untuk pulang.
Ini adalah pengalaman pribadi saya. Dan saya ingin membagikan ini sebagai inspirasi dan pengingat untuk semua perantau dimanapun berada. Hidup di perantauan memang membuatmu tidak bisa sesuka hati untuk pulang. Apalagi bila dirimu adalah pegawai atau karyawan, seperti saya. Ada aturan yang tidak bisa dilanggar.
Pun ada etika kerja yang harus dijaga. Tak mungkin kamu akan terus-menerus ijin walaupun kamu tahu kamu bisa meng-handle pekerjaanmu dengan baik. Tak jarang bila orang tuamu sakit, kamu hanya bisa mendoakan dari rumah atau kos. Ada kalanya juga bila ada kerabatmu yang sudah berjasa dalam hidupmu meninggal dunia, kamu hanya bisa turut berdukacita dan mengirim pesan belasungkawa kepada keluarganya.
Apakah itu karena kemauan kami? Tidak, namun karena kami terdesak untuk melakukannya. Hati ini kalut, pikiran sudah tak menentu. Lalu diiringi sesal kemudian kenapa tidak memaksa diri untuk pulang.
Tahun 1996 ibu saya divonis menderita diabetes. Kondisi tersebut membuatnya harus kehilangan ibu jari kakinya. Namun kemudian beliau kembali pulih dan sehat. Sampai pada tujuh tahun kemudian, tepatnya di tahun 2003 beliau kembali masuk rumah sakit. Kali ini lebih parah. Dokter sempat mengatakan bahwa salah satu kakinya harus diamputasi. Ibu tak kuasa mendengar kabar tersebut hingga kondisinya sempat begitu drop yang membuatnya dirawat selama sebulan di rumah sakit.
Kami keluarga, tak jemu-jemu berdoa untuk kesembuhan ibu. Pun kami meminta dukungan doa kepada semua kenalan dan handai taulan. Doa memang bisa merubah segala sesuatu. Dokter menarik pernyataannya dan memutuskan bahwa tak perlu amputasi. Cukup operasi besar untuk pembersihan bakteri yang ada dikaki.
Kami sangat bersyukur. Ibu kemudian pulih meskipun harus menjalani fisioterapi selama beberapa tahun dan berjalan dengan alat bantu. Sejak tahun 2003 itu pulalah ibu harus suntik insulin setiap hari. Tak hanya insulin, beliau juga harus mengonsumsi obat-obatan dari dokter dan kontrol rutin dua bulan sekali.
Tahun 2010 adalah tahun yang berat dimana saya harus mulai merantau selepas lulus kuliah. Tidak hanya bekerja, tetapi juga melanjutkan kuliah dijenjang yang lebih tinggi. Beberapa kali ibu sempat drop dan masuk rumah sakit. Beberapa kali pula saya tak bisa menemaninya dan hanya memonitor dari jauh.
Sampai tahun 2014 beliau kembali divonis gagal ginjal akibat komplikasi diabetesnya. Ia harus menjalani cuci darah seminggu dua kali di rumah sakit dr.Oen Kandang Sapi, Solo. Namun ia begitu tegar. Ia masih sering bersandau gurau bersama kami keluarganya.
Hanya sesekali saja mengeluh. Sekali dua kali saya menyempatkan pulang untuk mengantarnya cuci darah. 8 jam menunggunya cuci darah adalah waktu yang amat berharga bagi saya. Bapak sudah mengatakan sebaiknya pulang saja agar ibu bisa terus dekat dengan saya. Namun kondisinya belum memungkinkan bagi saya untuk kembali dan mencari nafkah di kampung halaman.