Mas, utang itu tidak salah. Yang salah adalah bila berutang gak mau bayar..
Saya ingat betul pernyataan tersebut disampaikan oleh Bapak kos saya sewaktu saya masih kos dulu. Beliau bercerita perjuangan hidupnya merintis usaha saat pertama kali datang merantau di kota ini 30 tahun silam. Ia berutang untuk modal membeli angkot yang ia jalankan bersama beberapa orang supir.
Usahanya tidak selalu berjalan mulus, beberapa kali ia ditipu oleh supir-supirnya sendiri masalah sparepart hingga ia memutuskan untuk menghentikan operasi. Lepas dari usaha angkot, beliau berutang lagi untuk membuka usaha lainnya hingga ia diterima menjadi pegawai disebuah rumah sakit.
"Kalau saya waktu itu gak utang, saya gak akan seperti sekarang mas" kenangnya.
Lain halnya dengan pengalaman yang pernah saya alami. Pernah suatu kali saya dimintai tolong oleh seorang kenalan untuk meminjaminya uang. Tergerak oleh belas kasihan, saya akhirnya meminjamkan sejumlah uang kepadanya. Jumlahnya cukup lumayan. Enam bulan tidak ada kabar. Kebetulan saya mendengar suaminya meninggal dunia. T
ak enak hati juga saya untuk menagih. Setahun masih tetap tak ada kabar. Saya terpaksa harus menagih. Dan bagian menyebalkan dari menghutangi teman adalah bila kita harus menagih. Masalahnya jumlahnya lumayan besar. Sewaktu menagih saya hanya dapat janji. Akhirnya lewat lagi setahun. Dua tahun sudah. Dasar saya benar-benar lagi butuh, saya paksa orang itu untuk menyahur hutangnya. Menagih saja sudah membuat jengkel, apalagi sampai harus memaksa. Ini kayak saya yang jadi memelas mengharapkan belas kasih dari orang yang saya hutangi.
Singkat cerita akhirnya dikembalikan, namun tidak semua. Sisanya sudah saya ikhlaskan. Tidak lagi berharap kembali. Namun ini jadi catatan penting buat saya. Suatu saat jika ia pinjam lagi saya tidak akan memberikannya lagi. Daripada capek menagih lagi.
Dan benar saja, satu tahun kemudian ia kembali memohon untuk diberikan pinjaman lagi dengan amat memelas. Tetapi kali ini tidak. Saya sudah kapok. Anehnya, seringkali di status-statusnya, ia curhat menuliskan kejengkelannya. Nampaknya ia meminjamkan uang ke orang tetapi si peminjam sangat sulit untuk ditagih. Wah ini kalau kata pepatah Jawa,
"Sapa sing nandur bakal ngunduh. Siapa menabur benih, dia akan menuai benih yang dihasilkan."
Bukankah si pengutang itu melakukan hal yang sama dengan apa yang sudah ia lakukan pada saya? Lalu kenapa ia harus mengeluh?
Maka kembali ke judul, sekali lagi berutang itu tidak salah. Siapa yang tahu kebutuhan setiap orang. Barangkali memang sedang terdesak untuk biaya rumah, anak sekolah, atau biaya rumah sakit. Tetapi ingatlah selalu untuk membayar karena kredibilitas si pengutang sedang sangat diuji. Nama si pemilik utang sedang dipertaruhkan. Untuk itu, berangkat dari latar belakang pengalaman saya tadi, saya mengambil kesimpulan, apabila kita terpaksa harus berhutang kepada teman atau saudara, perhatikanlah hal-hal berikut:
1. Berikan komitmen kapan uang tersebut kembali. Apakah dengan mencicil atau langsung lunas.
2. Usahakan sebelum jatuh tempo, utang itu sudah dibayar. Tak perlu di pemilik uang harus menagih.
3. Apabila memang kondisi sedang berat, sulit untuk membayar, setidaknya sampaikanlah dengan jujur selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo. Lalu sampaikan komitmen baru kapan akan dilunasi. Jangan biarkan pemilik uang menunggu klarifikasi yang berhutang. Tetapi dikesempatan kedua ini, janganlah sampai tidak terbayar lagi.