Saya punya kenalan tak biasa. Ia dapat membuat siapa saja yang kenal dengannya menjadi bungkam atas kepribadian yang dimilikinya. Ia perempuan biasa, lahir dari keluarga biasa, dan besar di lingkungan biasa (Bakka Bakka). Pertama kali kenal dengannya saat masuk di Daurah Marhala 1 Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Ia yang jadi panitia, saya yang jadi peserta. Dalam kegiatan itu, saya menilainya sebagai orang yang tidak jujur. Ada satu sesi dimana panitia dan peserta bermain games secara bersama. Dalam games tersebut, ia bermain curang. Ambisi menangnya tinggi sekali, sampai melegalkan segala cara untuk menggapai kemenangan. Tapi pengalaman mengajarkan saya bahwa hal demikian adalah satu upaya untuk menggait emosional anggota baru. Jadi saya maklumi.
Sebelum bergabung, ia sempat menuduh saya sebagai mata-mata. Itu pengakuan salah satu junior yang sudah tergabung dalam KAMMI lebih dahulu. Bukan tanpa sebab, karena memang sebelumnya ia mengetahui bahwa saya pernah masuk di organisasi yang berbeda. Saya memang mengamati prilakunya saat kegiatan Daurah Marhalah berlangsung. Fokusnya hanya tertuju pada saya, padahal ada banyak anggota baru yang ikut serta. Ini bukan kePDan, tapi itulah faktanya.
Sikapnya membuat saya penasaran. Hingga pada puncak penasaran ini, saya mencaritau lebih jauh tentang dirinya. Hampir seluruh teman akrabnya berkesimpulan bahwa dia adalah teman yang baik. Tapi saya tidak mengangguk iya dengan pernyataan itu saja. Barulah saya terbungkam saat mengetahui teman akrab saya yang pelit memberikan HP nya pada wanita itu. WHAT THE HELL? Apa apaan itu? Orang pelit memberikan kebutuhan primernya pada orang lain? Ini kiamat kah?
Saya lebih bungkam lagi bahkan sampai jantungan saat mengetahui bahwa ia mengerjakan skripsi temannya yang terjangkit penyakit mental Anxiety Disolder (penyakit mental yang membuat pengidapnya merasa cemas berlebihan), padahal skripsinya sendiri belum selesai. Apalagi deadline untuk pengerjaan skripsi 15 September. Kalau tidak selesai di waktu yang di tentukan, dia harus bayar. Rumitnya, ia adalah anak yang lahir dari keluarga yang berekonomi rendah. Mengurus berkas seminar proposal saja susah.
Dua hari lalu ia menghubungi saya untuk membantunya mengerjakan skripsi teman yang gangguan mental. Tidak menolak, saya mengiyakan. Karena orang yang kena gangguan mental tersebut adalah teman saya juga. Sejak kemarin, kami berdua sudah berikhtiar sebaik mungkin. Berharap skripsi teman ini bisa selesai sebelum deadline yang di tentukan oleh kampus.
Saya kadang jengkel dengan wanita ini, karena ia memprioritaskan menyelesaikan skripsi orang lain daripada skripsinya sendiri. Padahal keduanya sama sama punya deadline waktu yang sama. Bedanya, orang orang bahkan beberapa Dosen tau bahwa teman kami ini terjangkit penyakit gangguan mental, sementara wanita ini tidak. Ketika deadline berakhir dan skripsi teman yang gangguan mental belum selesai, saya, dan beberapa teman bisa audiensi dengan petinggi kampus untuk memberikan keringanan. Bahkan dosen mungkin saja bisa memaklumi karena sudah mengetahui bahwa teman ini gangguan mental. Sementara wanita ini apa? Apa alasan yang bisa di benarkan atas keterlambatan skripsinya? Tidak ada!
Kadang saya bertanya pada diri sendiri. Apa yang menjadi penyebab wanita ini berbaik hati kepada orang lain? Mengapa orang lain rela memberikan apa yang ia punya kepada wanita ini? Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepala. Tapi yang paling inti dari pertanyaan saya atas sikapnya adalah kenapa dia berbaik hati? Apa karena didikan orang tuanya? Lingkungannya? Atau kesadaran dirinya sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H