Lihat ke Halaman Asli

Selera yang (tak) menyelerakan~

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sobat..
Di alam kertas boleh saja kemiskinan berkurang.
Tapi itu tidak di alam nyata, yang hidup benar benar sangat sulit.
Yang minoritas semangat menjepit, yang mayoritas semakin terhimpit.
“Keadaan” itu sangat menunjang keberlangsungan hidup,
Di Utara berkata “itu pasti hasil korupsi atau mungkin berternak tuyul disana sini”
Di Selatan berujar “mereka malas bekerja, pantas saja malas berusaha”

Yang pasti.. Orang baik itu punya kepentingan, apapun itu alasannya.

Sobat..
Penguasa kita boleh saja silih berganti wujud dan suasana,
tapi tidak untuk urusan selera, yaitu urusan duit dan kekekuasaan..

Nikmat itu adaanya di otak, lewat cara berpikir lalu dirasa,
Entah itu perihal selera lidah, selera hati, selera birahi.
Bahkan selera selera yang tidak menyelerakan.
Jika otak sudah menyimpulkan hitam, hitamlah yang ada disemuanya.

Sobat..
Sekarang, orang baik lebih memilih diam.
Lebih berperilaku apatis, daripada berperang dengan hati nurani.
Baginya, mengikuti sistem itu, sama halnya dengan menciumi bau yang ada di rumah sakit.

Tak ada seorang pun yang mampu menerka bau khas di tempat itu apa namanya.

Seharusnya kita lebih desa daripada orang desa.
Lebih merakyat dibanding rakyat biasa.
lebih Indonesia daripada Indonesia.
Lebih jujur dibanding pelacur..!
Pantang mati sebelum ajal..!

Salam siang untuk sobat semua…
Salam~




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline