Kejahatan kekerasan seksual masih marak terjadi di masyarakat, terbukti dengan banyaknya pemberitaan tentang kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang tergolong dalam bentuk kejahatan klasik. Kejahatan ini tidak mengenal tempat dan dapat terjadi dimana saja, baik di kota maupun di desa, kekerasan seksual dapat terjadi bahkan pada orang yang mengetahui hukum yang ada di masyarakat.
Kekerasan seksual adalah kejahatan dimana pelaku memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual. Di Indonesia, kasus pelecehan seksual semakin meningkat setiap tahunnya, dan korbannya tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Maraknya kekerasan seksual terhadap anak tidak lepas dari pemahaman bahwa korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau melaporkannya ke pihak berwajib dengan berbagai alasan, seperti ancaman dari pelaku atau perasaan takut dan malu.
Menurut catatan KemenPPPA, kekerasan seksual terhadap anak terdeteksi sebanyak 9588 kasus pada 2022. Dibandingkan tahun lalu, jumlahnya meningkat sebanyak 4162 kasus. ""Kita diingatkan bahwa ada satu kondisi dengan penekanan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual," kata Nahar, yang membidangi perlindungan anak di Kementerian PPPA, di kantornya di Jakarta Pusat.
Kurangnya pengawasan orang tua juga bisa menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Di era yang semakin modern ini, tingkat kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang, terutama dalam mengontrol penggunaan gadget, media sosial dan informasi yang dapat mempengaruhi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus lebih aktif dalam menciptakan komunikasi dengan anaknya terkait penggunaan gadget secara intens.
selanjutnya, Rendahnya respon dan kepedulian masyarakat terhadap aksi kekerasan seksual juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya kasus yang terjadi. Pentingnya kesadaran masyarakat terhadap kasus kejahatan seksual berdampak positif baik bagi pihak korban, keluarga korban, maupun pemahaman masyarakat bahwa kejahatan seksual merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat, agama, dan negara.
Perlindungan hukum yang kurang efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, bahkan seringkali proses hukumnya tidak ada kejelasan. Dan yang harus diperhatikan adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak dapat berdampak jangka panjang, seperti hilangnya kepercayaan pada orang dewasa, trauma seksual, perasaan tidak berguna dan stigma yang menindas. Karena dapat berpangaruh baik secara mental maupun fisik, maka kasus kekerasan seksual terhadap anak harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari keluarga sebagai pelindung hingga penegakan hukum yang memberikan efek jera terhadap pelaku.
Lalu bagaimanakah pengaturan hukum sanksi kebiri kimia dalam hukum Indonesia?
Untuk melakukan hukuman kebiri kimia pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak bisa kita lihat terlebih dahulu dasar hukumnya pada Perppu No.1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang sekarang menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016, tepatnya pada Pasal 81 ayat (7), Menurut pasal 81 ayat (7) Perppu No.1 Tahun 2016 mengatakan: terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan tersebut diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok, pelaksanaan tindakan kebiri kimia dibawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum, sosial, dan kesehatan yang disertai dengan rehabilitasi.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 81 ayat (7) Perppu No.1 tahun 2016 di dalamnya terdapat ketentuan pelaku yang dapat dikenai tindakan kebiri kimia ada dua jenis yakni yang terdapat di dalam pasal 81 ayat (4) dan (5) :
- Pelaku yang telah dipidana dengan tindak pidana yang sama (residive).
- Pelaku yang dikenai hukuman mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Kemudian berdasarkan PP No. 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap anak juga menyebutkan bahwasannya tindakan kebiri kimia dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Serta pelaksanaannya dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan di bidang hukum, dan kementerian yang menyelenggarakan di bidang sosial.Berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 6 paling lama dikenakan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.Tata cara pelaksanaan hukuman kebiri kimia ada beberapa tahapan, yaitu;
- Penilaian Klinis
- Kesimpulan
- Pelaksanaan.