Lihat ke Halaman Asli

Alfi Hudaybiah

Mahasiswa IAIN Jember

Suap-Menyuap, Tanda Lunturnya Etika

Diperbarui: 17 Maret 2019   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

samsi.info

Semua orang tentunya berambisi untuk hidup dengan kemewahan, kerhormatan, dan jauh dari kata kesusahan serta penderitaan. Sebagian orang sudah bekerja dengan susah payah namun hasilnya tidak sesuai yang didapatkan.
       

Berangkat dari kenyataan ini, sebagian orang ingin merubah keadaan tersebut  secepat mungkin dengan usaha yang tidak begitu rumit atau bisa dikatakan dengan cara yang instan. Secara logika hal tersebut tidak mungkin. Sehingga kebanyakan orang terjerumus dalam perangkap setan dengan melakukan apapun agar apa yang diinginkan tercapai tanpa menyadari bahwa tindakan itu menyalahi etika ataupun merugikan orang lain. Salah satu diantaranya adalah praktik suap-menyuap.
        

Suap-menyuap sudah menjadi persoalan yang biasa dan tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan sudah membudaya dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini dikarenakan maraknya kasus suap-menyuap yang selama ini beredar.
        

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik suap-menyuap merupakan  kasus yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sejak pertama berdiri tahun 2004, KPK sudah menindak 466 kasus suap-menyuap. Jumlah kasus suap-menyuap yang ditindak KPK cenderung meningkat jika dilihat dari periode lima tahun terakhir. 

Ada 20 kasus suap-menyuap pada tahun 2014, 38 kasus (2015), 79 kasus (2016), 93 kasus (2017), dan 70 kasus (2018). Tentunya kasus suap-menyuap yang ditangani KPK tergolong kasus yang besar sedangkan kasus suap-menyuap lain yang tergolong kasus kecil masih belum masuk hitungan (Kompas, 2019).
        

Praktik suap-menyuap sebenarnya peristiwa yang tertutup. Pihak pemberi dan perima suap saja yang mengetahui persisnya. Biasanya bukti yang tersisa pada kasus suap-menyuap sangat sedikit atau bahkan sudah tidak ada lagi. Sehingga praktik suap-menyuap hanya dapat diungkap dengan penggerebekan atau tangkap tangan. 

Praktik suap-menyuap juga dapat diungkap jika ada salah satu pihak yang melaporkannya atau jika awalnya sudah disadap oleh aparat hukum karena tercium akan adanya rencana suap-menyuap.
        

Praktik penyuapan diatur secara eksplisit pada KUHP dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ancaman hukuman terhadap pemberi dan penerima suap cukup berat, baik dalam segi ancaman hukuman maupun terhadap penggantian kerugiannya (Suswinarno, 2012: 64).
        

Dalam agama islam juga dijelaskan bahwa dilarang menerima barang milik orang lain secara ilegal, yaitu dalam bentuk suap-menyuap. Shaukat Hayat mengutip surat al-Baqarah (2) ayat 188 sebagai berikut:

" Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
        

Ayat Al-Qur'an tersebut menjelaskan bahwa suap-menyuap dilarang keras dalam agama Islam, karena menerima suap khususnya dalam proses mengadili perkara adalah cara terburuk untuk merampas hak milik orang lain. Tidak ada keraguan bahwa hukum adalah penjaga hak orang, tetapi keseluruhannya tergantung kepada kejujuran dan keadilan hakim dalam menegakkannya.
        

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline