Saat demo RUU TPKS, seorang ibu berdemo dengan membawa poster bertuliskan, "Saya rela diperkosa suami tiap hari. Soalnya enak." Ngeri...
Padahal, poster tersebut menggambarkan seksualitas perempuan dikontrol penuh oleh laki-laki. Sayang perempuan menyetujuinya!
Ngomongin hukum rimba yang didominasi jantan, ini ditiru laki-laki sebagai prokreasi / hubungan seksual berorientasi kesenangan yang dinormalisasi. Penormalisasiannya merambat pada didikan patriarkisme di mana pelecehan dan kekerasan seksual disandingkan dengan rasa cinta dan hormat kepada perempuan.
Kata Gerda Lerner dalam The Creation of Patriarchy, 1986 konstruksi sosial secara alamiah menyetujui laki-laki sebagai makhluk kuat melindungi perempuan lemah. Gara-gara ini perempuan mematuhi kin yang mana pelayanan dan tubuh seksualnya didedikasikan untuk ayah dan suami. Perempuan juga tidak memiliki hak mengatur dan memutuskan sesuatu di hidupnya serta tidak memiliki hak asuh dan kuasa atas anak yang ia lahirkan.
Seperti kasus pemerkosaan di rumah tangga (marital rape) yang menghalalkan segala hal seksual suami-istri dan istri diwajibkan melayani seksual suami tanpa kenal kondisi. Perkosa, kata yang mengandung kekerasan dan paksaan menyebabkan korban cedera fisik serta mental.
Itulah mengapa tidak ada diksi 'rela' dalam segala bentuk perkosaan, entah itu oleh suami / orang lain. Pelakunya bisa dipenjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 30 juta sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Kok ini diakui perempuan?
Pengakuan perempuan sebagai kelas bawah / subordinasi berkaitan dengan pelecehan dan kekerasan seksual yang awam dimengerti.
Pelecehan seksual merupakan serangan / perilaku seksual secara fisik maupun verbal tanpa persetujuan, memaksa, dan mengancam. Contohnya ajakan berhubungan intim dengan iming-iming, bercanda seksual, siulan, dan cabul. Sementara, kekerasan seksual terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Contohnya diskriminasi gender; paksaan kehamilan, aborsi, dan pemakaian kontrasepsi; serta penyiksaan seksual.
Teologi juga berpengaruh pada hierarki seksual. Teolog seperti Asghar Ali Engineer dan Raffat Hassan menilai hal ini mengakar pada kekeliruan penafsiran teks agama. Padahal, teologi tidak hanya berbicara agama dan Tuhan, tetapi praktik sosial pembebasan manusia sebagai muara keadilan. Ada yang salah ditafsirkan: