Pernahkah Anda mendengar istilah Rambu Solo? Rambu Solo merupakan satu dari sekian banyak tradisi yang ada di Indonesia dan hingga saat ini masih dipraktikkan.
Rambu Solo merupakan suatu istilah bagi upacara pemakaman yang dilakukan oleh orang-orang suku Toraja. Jika biasanya upacara pemakaman identik dengan kesedihan, lain halnya dengan upacara Rambu Solo yang terlihat "meriah".
Kemeriahan Rambu Solo dapat dilihat dari prosesi upacaranya yang terdiri dari beberapa tahapan yang dapat memakan waktu hingga berhari-hari. Tiap-tiap tahapan dalam upacara Rambu Solo memiliki tujuannya tersendiri.
Hal itulah yang menjadi keunikan dari upacara pemakaman khas suku Toraja ini. Selain memiliki keunikan, ternyata upacara Rambu Solo juga melambangkan kelas sosial pada masyarakat Toraja.
Sejarah Rambu Solo
Keberadaan Rambu Solo sebenarnya berasal dari ajaran kepercayaan nenek moyang masyarakat Toraja, yakni Aluk To Dolo/Alukta, yang masih dilakukan meskipun mayoritas masyarakat Toraja saat ini merupakan pemeluk agama Kristen.
Diperkirakan, Rambu Solo telah dilakukan oleh masyarakat Toraja sejak abad ke-9. Secara etimologis, Rambu Solo terdiri dari dua kata, yakni Rambu dan Solo. Rambu bermakna asap dan solo bermakna turun.
Sedangkan secara terminologis, asap dimaknai sebagai penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi, dan solo dimaknai sebagai tanda penghormatan terakhir kepada jenazah.
Menilik dari pengertian tersebut, istilah Rambu Solo memiliki makna sebagai ritual penghormatan jenazah kepada Tuhan serta leluhur dengan menyembelih hewan sebagai persembahan (Paganggi, Hamka and Asmirah, 2021).
Rambu Solo memiliki nilai yang sangat penting bagi masyarakat Toraja. Apabila seseorang yang telah meninggal belum diupacarai, maka orang tersebut hanya dianggap sedang "sakit" dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti ditidurkan di ranjang, diberi makanan dan minuman, hingga diajak berbicara (Ismail, 2019).