Lihat ke Halaman Asli

Perang Dingin Baru di Timur Tengah: Konflik Proxy antara Hizbullah dan Israel dalam Perebutan Geopolitik Regional

Diperbarui: 17 November 2024   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perang dingin yang terjadi pada pertengahan abad ke-20 antara Amerika Serikat dan Uni Soviet mungkin telah berakhir, tetapi konsep-konsep dan dinamika yang muncul pada masa perang tersebut tetap relevan sampai zaman modern, terutama dikawasan Timur Tengah. Konflik antara Hibullah dan Israel adalah salah satu contoh, dimana kekuatan-kekuatan besar yang ada di dunia seperti Amerika serikat dan Iran, menggunakan aktor negara maupun aktor non-negara dalam memperjuangkan pengaruh geopolitik. Hibullah sebagai perwakilan dari Iran di Lebanon, dalam keterlibatan konflik berkepanjangan dengan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat. Dalam artikel ini, saya akan menganalisis tentang konflik Hizbullah dan Israel yang masuk dalam kategori perang Proxy yang terjadi di Timur Tengah, dan bagaimana hal ini mencerminkan pola konsep yang terjadi pada saat perang dingin seperti Balance Of Power, Detterenece, dan Security Diloema dalam konflik tersebut.

Latar belakang terjadinya perang antara Hizbullah dan Israel diakibatkan adanya Invasi yang dilakukan oleh Israel di wilayah Lebanon, dengan tujuan ingin menghancurkan organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang berada di Lebanon Selatan. Akibat invasi tersebut, muncul organisasi Hizbullah pada tahun 1985 sebagai respon perlawanan terhadap militer Israel. Berdirinya organisasi Hizbullah juga didukung oleh Iran dan Suriah, tidak hanya itu munculnya Hizbullah juga sebagai respon perlawanan Syiah yang menentang Israel dan memperjuangkan pembebasan Palestina. Dengan adanya dukungan dari Iran dan Suriah, membuat Hizbullah berkembang menjadi kekuatan militer dan politik di Lebanon. Sejak saat itu, Hizbullah dan Israel telah melakukan peperangan senjata, dan puncak peperangan tersebut pada tahun 2006 di wilayah Lebanon. Meskipun konflik tersebut berakhir dengan gencatan senjata, ketegangan tetap tinggi, dan kedua pihak terus meningkatkan kapasitas militer mereka. Tetapi,dibalik dari peperangan tersebut ada permainan proxy untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut yang dilakukan oleh Iran dengan mendukuing Hizbullah, Israel didukung oleh Amerika Serikat. Keterlibatan kekuatan besar ini mengubah konflik lokal menjadi bagian dari perebutan kekuasaan geopolitik yang lebih luas. [i]

Salama Perang Dingin, konsep perang Proxy memainkan perannya dalam persaingan geopolitik antara dua kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua kekuatan tersebut berusaha memperluas ideologi mereka tanpa adanya keterlibatan secara langsung. Mereka bertarung dengan mengunakan pihak ketiganya sebagai contoh, Perang Proxy pada tahun 1950-1953 yang di mana Korea Utara didukung oleh Uni Soviet bertarung dengan Korea Selatan yang didukung oleh Amerika Serikat dan pada tahun 1955-1975 Vietnam Utara yang di dukung oleh Uni Soviet dengan Vietnam Selatan yang didukung oleh Amerika Serikat. Perang yang disebutkan menjadi tempat utama bagi perebutan pengaruh global antara kedua Negara adidaya yang masing-masing mendukung aktor negaranya. Dalam konteks modern Iran dan Amerika Serikat adalah dua aktor Negara utama dalam konflik perang Proxy yang melibatkan aktor non-negara seperti Hizbullah dan aktor Negara seperti Israel. Iran mengangap Hizbullah sebagai organisasi yang cukup dalam memperluas pengaruhnya di Timur Tengah, terutama diwilayah Lebanon, Suriah, dan Palestina. Dengan adanya dukungan dari Iran, Hizbullah mendapatkan bantuan militer, finansial, dan politik yang membuat Hizbullah sebagai kekuatan utama dalam perlawanan terhadap sekutu-sekutu Barat, terutama Israel. Selain itu, Ameika Serikat juga menjadikan Israel sekutu yang dekat dengan memberikan beberapa bantuan seperti dukungan militer, teknologi persenjataan modern, sistem pertahanan yang berfungsi melindungi Israel dari serangan rudal milik Hizbullah. [ii]

 

Konsep Balance of Power merupakan teori dalam hubungan internasional yang menjelaskan bagaimana aktor-aktor politik dapat menjaga posisi mereka terhadap dominasi yang diberikan oleh satu pihak atau lainnya. Dalam konflik antara Hizbullah dan Israel, merupakan penerapan konsep Balance of Power. Iran sebagai aktor Negara ingin memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan mengunakan Hizbullah dalam mengimbangi kekuatan Israel dengan melalui dukungan pelatihan militer, finansial, persenjataan dan kedudukan politik. Sementara Amerika Serikat sebagai aktor utama yang membela Israel, berkomitmen untuk memberikan bantuan kekuatan terhadap sekutu ataupun kepentingan Barat. Hampir sama seperti Iran dalam membantu Hizbullah, Amerika Serikat juga memberikan bantuan militer dan sistem pertahanan yang berteknologi modern yang dapat digunakan untuk melindungi Israel terhadap serangan yang dilakukan oleh Hizbullah. Perang Proxy yang terjadi antara Hizbullah dan Israel, merupakan suatu cara dalam mempertahankan Balance of Power di kawasan Timur Tengah. Iran dan Amerika Serikat memanfaatkan Aktor Negara dan Non-negara dalam mencegah dominasi yang akan dilakukan oleh suatu Negara ataupun aktor non-negara. Konflik tersebut menciptakan dinamika sebuah aktor tidak hanya berfokus pada tujuan internal mereka saja, tetapi juga mempertimbangkan dampak yang disebabkan dari tindakan mereka terhadap keseimbangan kekuatan diseluruh kawasan. Oleh karena itu, memahami konsep Balance of Power dalam setiap konflik memungkinkan diri kita terhadap keadaan hubungan internasional yang ada di mana aktor non Negara dan Negara seperti Hizbullah dan Israel memainkan perannya terhadap mempertahankan suatu tatanan kekuatan.

 

Konsep deterrence juga merupakan strategi yang digunakan oleh suatu Negara untuk mencegah serangan dari lawan dengan cara menunjukan sebuah kemampuan untuk merespon suatu hal. Dalam konflik Hizbullah dan Israel merupakan penerapan strategi dari kedua aktor yang berusaha menciptakan sebuah ketakutan bagi lawannya. Israel sendiri mengandalkan kekuatan militernya untuk menerapkan deterrence terhadap Hizbullah. Salah satu strategi yang digunakan oleh Israel yaitu mengunakan kekuatan militernya untuk mengesankan dan penggunaan seragan balasan. Israel melakukan hal tersebut karna kekuatan militernya yang terlatih dan dilengkapi oleh senjata modern seperti drone. Disisi lain, Hizbullah juga menerapkan strategi deterrence untuk melindungi diri dari serangan Israel dengan cara mengembangkan perenjataan roket jarak jauh yang mampu menjangkau seluruh wilayah Israel. Hizbullah juga memanfaatkan kondisi geografis-nya dalam melakukan praktek perang gerillya. Tidak hanya itu saja, Hibullah juga memanfaatkan kondisi psikologis dalam mengatur strategi deterrence dengan menjadikan dirinya sebagai ancaman tetap bagi Israel, hal tersebut diharapkan dapat mengurangi kebebasan penyerangan yang dilakukan oleh Israel. Strategi tersebutlah yang dilakukan oleh Hizbullah untuk menghadapi tentara militer Israel, dan hal tersebutlah yang membuat kondisi militer Israel harus tetap dalam kondisi waspada.

 

Dalam konflik peperangan juga antara Hizbullah dan Israel juga terjadi sebuah konsep dalam hubungan internasional, yaitu Security dilemma. Security dilemma adalah sebuah strategi yang digunakan dalam suatu Negara atau kelompok organisasi untuk meningkatkan keamanannya. Setelah itu, negara atau kelompok tersebut merespon dengan cara yang sama. Dalam konflik Hizbullah dan Israel, konsep tersebut sangat terlihat ketika Hizbullah menerima bantuan dari Iran untuk memperkuat kekuatan militer dengan menambahkan alat tempur roket, Amerika Serikat yang mengetahui hal tersebut langsung merespon dan memberikan bantuan juga kepada Israel berupa teknologi Iron Drone yang dirancang untuk mencegah serangan roket dari Hizbullah. Strategi terebut menyebabkan peningkatan ketegangan di kawasan Timur Tengah. Setiap ada satu pihak yang menerima bantuan dari Negara yang mendukungnya, maka lawan dari Negara tersebut juga memberikan bantuan kepada Negara yang didukungnya. Jika security dilemma dilakukan dalam jangka panjang, akan berdampak pada sulitnya mencapai stabilitas menuju perdamaian. Meskipun hal tersebut bertujuan memperlihatkan kekuatannya untuk pertahanan diri masing-masing, tindakan tersebut justru menciptakan ketidakamanan dan akan berdampak pada konflik yang semakin dalam dan sulit diselesaikan.

 

Konflik peperangan Proxy antara Hibullah dan Israel menimbulkan dampak yang semakin luas yang tidak hanya berada di kawasan Lebanon dan Israel, tetapi hampir diseluruh kawasan Timur Tengah. Hizbullah, yang mendapatkan dukungan dari aktor Negara Iran, memiliki pengaruh yang besar di Lebanon baik secara politik maupun kondisi militer yang berhadapan secara langsung menantang kekuasaan Negara. Ketegangan tersebut menyebar ke Negara-negara lainnya seperti Suriah, di mana Hizbullah membantu pemrintahan Bashar Al Asad dalam perang saudara yang berkepanjangan. Selain itu, Irak juga diberikan bantuan militer Syiah oleh Iran untuk memperkuat pengaruhnya. Kondisi tersebut membuat kawasan Timur Tengah mengalami ketidakstabilan dan memperburuk ketegangan antara Negara-negara yang mendukung Iran dengan Negara yang mendukung kekuatan Barat seperti Arab Saudi. Ketidakstabilan tersebut yang menjadi faktor utama yang membuat konflik Hizbullah dan Israel begitu rumit, karena dampaknya menjalar ke banyak negara di sekitar mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline