Naura melewatiku meniti jalan setapak yang entah sampai kapan melebarnya. Boleh jadi, ini sebuah mimpi yang sejatinya bunga tidur. Aku masih saja berharap ini menjadi kenyataan. Tapi, sungguh, aku benar-benar ingin berjumpa dengan Naura. Naura Kalista. Perempuan yang sejak awal menjadi prototype idaman bagiku atau mungkin, menjadi idaman bagi ibuku juga. Sebab, ialah salah satu dari banyaknya wanita berdarah minang tulen. Ayahnya adalah Kepala di kantor Kedutaan Besar RI untuk Mesir sedangkan ibundanya menjadi salah satu dokter anak untuk perdamaian dunia di sekitaran Lebanon. Mesir dan Lebanon adalah keseharian dari Naura. Tapi, di sini lah tempat kami berjumpa dengan khidmatnya aku merasakan sesuatu ynag berbeda.
Naura memberikan salam.
"Permisi, kamu orang Indonesia kan?" Naura bertanya padaku sambil melihat Merah Putih yang selalu aku tempelkan pada ransel belajarku.
"Iya, ada apa?" jawabanku yang terkesan cuek memanglah bawaan aku sebagai pria yang jarang bertemu dengan wanita. Kali ini saja, aku hanya mampu menatap alas kaki Naura yang tertutupi kaos kaki warna cokelat dengan sepatu flat warna hitam.
"Perkenalkan, saya Naura. Saya melihat list daftar siswa yang belajar di sini. Terus terang, saya sangat senang bisa berjumpa dengan anda."
Dalam hatiku, bagaimana bisa wanita berjalan sendirian lalu tiba-tiba mendekati seorang pria tanpa mahrom? Inikan Mesir.
"Baik. Salam kenal. Anty jurusan apa?"
"Ana jurusan Sastra Arab."
Seketika adzan berkemundang menandakan waktu Ashar sudah masuk. Aku menundukkan badan sedikit sebagai salam berpisahan dan berlalu begitu saja meninggalkan dia yang baru saja mengajak ku berkenalan. Sungguh, tidak ada maksud ku untuk meninggalkan dia begitu saja, ada urusan yang lebih penting ketimbang berduaan di jalanan kampus ini. Seketika adzan menjadi penyelamat dari terkaman berduaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H