Lihat ke Halaman Asli

Emak

Diperbarui: 17 Desember 2016   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KALAU saja perempuan tua itu bukan emakku sendiri, mungkin sudah sejak lama aku paksa dia keluar dari rumah ini. Aku usir dia! Aku tak akan peduli dia pergi ke mana atau hidup dengan siapa setelah itu. Aku juga tak akan peduli bagaimana dia kemudian hidup di luar sana. Kelaparan kek, kedinginan kek, jadi gembel kek -- sebodo amat! Aku tak akan peduli. Pokoknya, begitu dia sudah tak di rumah ini lagi, aku pasti bisa merasa plong. Aku pasti merasa terbebas dari himpitan yang selama ini menyesakkan. Aku pasti tak akan lagi didera oleh keruwetan dan kejengkelan mengurus seorang perempuan tua.

Tetapi perempuan tua itu adalah emak. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri (ayah meninggal saat aku baru tiga tahun) hingga aku menjadi wanita sempurna sekarang ini: punya suami yang penuh cinta serta dua anak yang sedang lucu-lucunya.  

Jadi, meski emak hampir setiap saat membuatku merasa jengkel atau bahkan mangkel, aku tak mungkin mengusirnya. Mustahil! Aku masih waras untuk berbuat durhaka kepada emak. Jangankan mengusir, memarahinya saja aku enggan. Kalaupun sesekali aku kelepasan menunjukkan ekspresi marah karena sikap dan tindakan emak yang menjengkelkan, seketika itu pula terbit penyesalan. Penyesalan yang teramat dalam. Aku takut, sangat takut, emak sakit hati. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka. Bagaimanapun aku harus hormat dan memperlakukan emak dengan penuh kasih sayang.

Namun mencurahkan kasih sayang kepada emak adalah perjuangan yang sangat melelahkan. Ya, karena dalam usia yang hampir 90 tahun sekarang ini, keseharian emak sangat mengurasku secara fisik maupun psikis. Secara fisik, aku dibuat teramat repot mengurus tetek bengek keseharian emak. Mulai dari menyiapkan makanan khusus untuk orang uzur, memandikan dan mendandani, mencuci pakaian, membersihkan tempat tidur, dan banyak lagi.

Kesibukan rutin tiap hari itu acap masih ditambah oleh pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak terduga -- tapi hampir selalu bikin mangkel alias menjadi beban psikis. Pekerjaan-pekerjaan itu biasanya lahir karena kebiasaan buruk atau akibat ulah emak sebagai orang pikun. Misalnya aku acap harus menjemur kasur dan mencuci sprei yang basah kuyup oleh ompol emak. Atau membersihkan kotoran emak yang berceceran di lantai gara-gara emak kebelet dan telat bergerak ke kamar kecil. Tidak jarang pula emak menyenggol piring atau gelas sampai pecah berantakan, sehingga aku harus jungkir balik membersihkan pecahan kaca supaya tak sampai melukai kami -- penghuni rumah.

                              ***

Sebagai manusia yang sudah dilanda pikun, emak bukan saja pelupa yang akut. Lebih dari itu, sikap maupun tindakan emak juga acap menyerupai kanak-kanak. Menjelang tidur, misalnya, emak harus dibujuk-bujuk agar mau pipis dulu. Jika tidak, emak pasti ngompol saat tidur. Padahal, karena tidak mau kasurnya dialasi plastik dan kain gombal, ompol emak menjadi perkara yang menjengkelkan. Kasur dan selimut bukan hanya jadi basah, tapi juga berbau pesing sehingga harus segera dibersihkan dan dikeringkan agar kamar emak tidak berubah menjadi serupa kakus di terminal. Juga agar emak tidak menjadi sakit gara-gara kemudian tidur di kasur lembab bekas ompol.

Jika sakit, emak menjadi tambah merepotkan. Meski cuma sedikit demam atau batuk-batuk, misalnya, emak sunguh-sungguh menjadi kolokan. Bukan cuma mengeluhkan ini-itu secara mengada-ada, melainkan juga emak suka ingin ditemani terus sambil minta dipijati atau dikipasi. Ditinggal sebentar saja, emak pasti ngambek. Kalau tidak jadi ogah makan bubur atau minum obat, emak bersungut-sungut mengatai aku tidak mau mengurus orangtua.

Jadinya, selama emak sakit, pekerjaan-pekerjaan lain di rumah menjadi terbengkalai. Aku tak bisa ke pasar atau ke warung, tak bisa memasak, tak bisa beres-beres rumah, juga tak bisa memandikan dan mengantar ke sekolah dua anakku yang masih kecil-kecil. Untung suamiku penuh pengertian. Dia bukan hanya tidak mengeluhkan keadaan, melainkan juga mau mengambil alih sebagian pekerjaanku yang mampu dia tangani selagi aku harus mengurus emak -- sampai emak pulih kembali. Bahkan suamiku juga menyemangatiku agar tetap telaten dan ikhlas mengurus emak.

Aku sendiri selalu berupaya agar bisa ikhlas dalam mengurus emak ini. Entah emak dalam keadaan sehat maupun selagi jatuh sakit. Aku sadar betul bahwa mengurus emak adalah kewajibanku sebagai anak. Mengurus emak adalah kesempatan bagiku untuk berbakti kepada orangtua. Istilahnya, mumpung emak masih hidup. Jadi, aku harus berbuat sebaik-baiknya kepada emak. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari manakala emak sudah dipanggil ke haribaan-Nya.

Karena itu pula, aku selalu berupaya membuang jauh-jauh segala bisikan di batin yang memang kadang muncul -- bisikan yang bisa meluruhkan keikhlasanku dalam mengurus emak ini. Aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pengabdianku mengurus emak tak boleh menjadi sesuatu yang sia-sia. Pengabdianku mengurus emak harus menjadi upaya meraih ridha Allah SWT, sekaligus sebagai wujud cinta kasih anak kepada orangtuanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline