Lihat ke Halaman Asli

Polemik Hukuman Mati di Indonesia: Perspektif Hak Asasi dan Pandangan Hukum

Diperbarui: 9 Januari 2025   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Galeri Pribadi

Oleh : Al Farizil Dimas Saputra (Mahasiswa Double Degree Ilmu Hukum dan Informatika)

"Dura Lex, Sed Lex"
"Hukum Itu Keras, Tetapi Itulah Hukumnya"

Hukuman mati telah lama menjadi topik perdebatan yang intens di Indonesia. Di satu sisi, hukuman ini dianggap sebagai bentuk hukuman yang paling tegas untuk kejahatan luar biasa seperti pembunuhan berencana dan perdagangan narkotika. Namun, di sisi lain, banyak pihak yang memandang hukuman mati sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup. Artikel ini akan membahas polemik hukuman mati di Indonesia dengan pendapat ahli dan teori hukum untuk memahami isu ini secara mendalam.

Hukuman mati adalah jenis hukuman pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan berat dengan mencabut nyawa mereka. Di Indonesia, hukuman mati diatur dalam beberapa undang-undang, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Menurut Dr. Todung Mulya Lubis, seorang pakar hukum dan aktivis HAM, hukuman mati adalah warisan hukum kolonial yang keberadaannya patut dipertanyakan dalam konteks modern. "Hukuman mati tidak hanya kejam, tetapi juga tidak memberikan efek jera yang signifikan," tegasnya dalam jurnal Human Rights in Southeast Asia (2021).

Pemerintah Indonesia mempertahankan hukuman mati dengan alasan untuk memberikan efek jera (deterrent effect) terhadap pelaku kejahatan berat. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman besar dari perdagangan narkotika internasional. Sebagai contoh, pada tahun 2023, BNN mencatat 5.000 kasus narkotika dengan jumlah barang bukti mencapai 10 ton sabu. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa hukuman mati tetap relevan untuk melindungi generasi muda dari ancaman narkotika. "Ini bukan hanya soal hukuman, tetapi juga soal menjaga masa depan bangsa," ujarnya dalam sebuah wawancara di Kompas (2022).

Eksekusi hukuman mati di Indonesia umumnya dilakukan di lokasi terpencil, seperti Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Pulau ini dikenal sebagai tempat eksekusi bagi narapidana narkotika, terorisme, dan pembunuhan berat. Proses eksekusi dilakukan oleh regu tembak sesuai prosedur yang diatur dalam KUHAP. Namun, beberapa organisasi HAM, seperti Amnesty International, menyoroti kurangnya transparansi dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. "Ketertutupan proses ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pelanggaran prosedur hukum yang dapat berujung pada eksekusi yang tidak adil," kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Polemik tentang hukuman mati mulai mengemuka secara intensif sejak reformasi 1998, ketika isu hak asasi manusia menjadi perhatian utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan ini semakin menguat pada tahun 2015 ketika pemerintah Indonesia mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkotika dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.

Sebuah studi oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2016 mengungkap bahwa 70% narapidana mati di Indonesia berasal dari kelompok ekonomi lemah. Hal ini memunculkan kritik bahwa hukuman mati lebih sering dijatuhkan kepada mereka yang tidak mampu membayar pengacara berkualitas. Pendukung hukuman mati biasanya berasal dari kelompok konservatif, aparat penegak hukum, dan sebagian masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati adalah keadilan bagi korban dan keluarga mereka. Namun, penolakan datang dari berbagai organisasi HAM, akademisi, dan tokoh agama. Misalnya, Gus Dur dalam salah satu tulisannya menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip keadilan ilahi. "Manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia lain, karena hanya Tuhan yang memiliki otoritas itu," tulisnya dalam buku Islam and Justice (2006).

Hukuman mati memunculkan tantangan besar dalam sistem hukum Indonesia. Salah satunya adalah risiko kesalahan peradilan (miscarriage of justice). Contoh nyata adalah kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1977, di mana mereka dihukum mati atas tuduhan pembunuhan yang belakangan terbukti tidak mereka lakukan. Profesor Muladi, mantan Menteri Kehakiman, pernah menyatakan bahwa "risiko menghukum mati orang yang tidak bersalah adalah cacat paling fatal dalam sistem peradilan." Dalam bukunya Criminal Law Reform in Indonesia (2010), ia menekankan pentingnya reformasi sistem peradilan pidana untuk mengurangi potensi kesalahan semacam itu.

Polemik hukuman mati di Indonesia adalah refleksi dari konflik antara tuntutan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Di satu sisi, hukuman mati dianggap sebagai bentuk keadilan bagi korban kejahatan berat. Namun, di sisi lain, risiko kesalahan peradilan, ketidakadilan sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia membuat banyak pihak mempertanyakan keberlanjutannya. Indonesia perlu mengambil langkah progresif dengan mengevaluasi kembali hukuman mati dalam kerangka hukum yang lebih humanis dan berbasis bukti. Pendekatan yang mengedepankan rehabilitasi dan pencegahan mungkin menjadi alternatif yang lebih sejalan dengan nilai-nilai keadilan universal.

Daftar Pustaka

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline