Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Kode Etik terhadap Tingkat Profesionalitas di Era Perkembangan Teknologi Informasi dan Kecerdasan Buatan

Diperbarui: 9 November 2024   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Dokumen pribadi

Disusun oleh : Al Farizil Dimas Saputra | Mahasiswa Informatika Universitas Muhammadiyah Malang | Asal Pamekasan, Jawa Timur

I.Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir perkembangan TIK dan AI telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tidak hanya memperluas kemampuan inovatif, terutama pada bidang AI yang membuat konten secara otomatis dan algoritma canggih, teknologi ini juga mengubah cara manusia bekerja, berinteraksi, dan mengambil keputusan. Menurut buku Artificial Intelligence dalam Perkembangan Teknologi Informasi (2023), kecerdasan buatan telah menunjukkan potensi besar dalam berbagai sektor, mulai dari industri kesehatan, manufaktur, hingga layanan publik, dengan kemampuannya dalam memproses data dalam jumlah besar serta melakukan analisis dan prediksi yang lebih akurat dibandingkan manusia.

Namun, di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, muncul pula tantangan terkait profesionalisme dan kode etik, yang menjadi fondasi penting bagi para praktisi di bidang Teknologi Informasi. Etika profesi dalam IT dan Informatika, sebagaimana dijelaskan oleh Satrio dan Nugroho (2022), menekankan pada pentingnya tanggung jawab sosial, kejujuran, dan integritas dalam menghadapi distres etika yang kian kompleks. Di era generative AI, misalnya, ada potensi penyalahgunaan teknologi dalam menyebarkan hoax atau bahkan merugikan privasi. Oleh karena itu, profesionalisme dan kode etik menjadi aspek penting yang harus diperhatikan, karena tidak hanya berfungsi sebagai pedoman, tetapi juga sebagai upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap teknologi yang dikembangkan.

Sudut pandang utama dalam esai ini adalah bahwa profesionalisme dan kode etik merupakan pilar yang tak terpisahkan dari kemajuan TIK dan AI. Penerapan kode etik dan sikap profesional yang kuat memungkinkan para praktisi untuk mengelola dampak etis dari teknologi yang mereka kembangkan, memastikan bahwa AI dan IT  dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas tanpa melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Teori etika utilitarianisme yang dikemukakan oleh John Stuart Mill juga relevan dalam konteks ini, dimana penggunaan teknologi seharusnya mempertimbangkan manfaat terbesar bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam perkembangan TIK dan AI, penting untuk memastikan bahwa profesionalisme dan kode etik menjadi panduan utama, demi mewujudkan teknologi yang aman, bermanfaat, dan bertanggung jawab bagi seluruh lapisan masyarakat.

II. Pembahasan

Profesionalisme di bidang TIK adalah dasar penting bagi para profesional, yang memerlukan keterampilan teknis, sikap, dan etika kerja yang baik. Menurut Satrio dan Nugroho (2022) dilansir dari buku Etika Profesi dalam Bidang Teknologi Informasi, profesionalisme mencakup tanggung jawab, integritas, dan komitmen untuk layanan berkualitas demi kepentingan masyarakat. Profesional TIK harus memperhatikan dampak sosial dari teknologi yang mereka kembangkan, sehingga profesionalisme menjadi kunci untuk memastikan inovasi sesuai dengan prinsip moral dan memberikan manfaat positif bagi umat manusia.

Kode etik yang dibuat oleh Association for Computing Machinery (ACM) adalah pedoman penting dalam dunia TIK. Kode etik ini berisi prinsip-prinsip yang diharapkan diikuti oleh profesional TIK saat menjalankan tugasnya. Beberapa poin utama dalam kode etik ini termasuk komitmen untuk tidak menyebabkan kerugian, tanggung jawab terhadap kualitas pekerjaan, penghormatan terhadap privasi, serta menjunjung tinggi keadilan dan integritas dalam penggunaan teknologi. ACM juga menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan data, berkontribusi pada teknologi yang inklusif, dan bekerja sama dengan kolega serta pengguna secara baik (ACM, 2018). Kode etik ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan di era AI yang memiliki risiko penyalahgunaan data dan masalah etika lainnya.

Bagi mahasiswa Informatika yang sedang mempersiapkan diri sebagai profesional TIK, ada beberapa hal penting yang perlu dipersiapkan sebagai berikut :

  • Mahasiswa harus memiliki kompetensi dalam bahasa pemrograman, pengembangan perangkat lunak, manajemen data, dan pemahaman tentang algoritma, serta teknologi AI. Karena penguasaan keterampilan teknis yang memadai adalah syarat penting menjadi professional TIK.
  • Mengikuti pedoman seperti yang disusun oleh ACM dapat membantu mahasiswa memahami tantangan etis dan sosial yang mungkin akan dihadapi di dunia kerja. Karena pemahaman tentang kode etik profesi adalah hal yang penting untuk dipelajari sejak awal.
  • Keterampilan interpersonal dan komunikasi juga perlu dikembangkan agar dapat bekerja dalam tim dan berkomunikasi dengan klien atau pengguna secara efektif.

Menurut teori utilitarianisme yang diajukan oleh Mill, keputusan etis dalam dunia TIK seharusnya bertujuan untuk memaksimalkan manfaat dan mengurangi dampak negatif bagi masyarakat luas (Mill, 1863). Dengan demikian, mahasiswa Informatika diharapkan mampu mempersiapkan diri sebagai profesional yang tidak hanya menguasai aspek teknis, tetapi juga memiliki kesadaran etis yang tinggi. Hal ini akan mendukung mereka dalam mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab saat terjun ke dunia kerja di bidang TIK.

III. Opini 

Berbagai sektor saat ini mulai terbawa oleh dampak signifikan dari generative AI, termasuk bidang TIK. Alih-alih menggunakan skill yang dimiliki, para profesional di bidang IT lebih memilih AI untuk melakukan pemecahan masalah, analisis data, dan pengembangan perangkat lunak. Ini menimbulkan profesional IT menjadi kurang termotivasi untuk berpikir kritis atau terlibat dalam problem solver.

Penelitian dari McKinsey Global Institute (2023) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya adopsi AI, lebih dari 40% tenaga kerja di sektor teknologi berisiko mengandalkan teknologi secara berlebihan untuk menyelesaikan tugas rutin, mengurangi keinginan mereka untuk memahami masalah secara mendasar. Hal ini mengakibatkan penurunan keterampilan analitis dan keterampilan berpikir kritis yang sangat diperlukan dalam profesi IT, itu karena AI dinilai lebih efisien dari pada harus berfikir sendiri. AI yang dapat melakukan tugas-tugas seperti penulisan kode atau menyelesaikan algoritma, kadang membuat profesional IT merasa nyaman karena tidak perlu berfikir lagi, tanpa memahami permasalahan yang dihadapinya. (McKinsey Global Institute, 2023).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline