Lihat ke Halaman Asli

Alfariz Farhan

Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan

Oligarki di Tubuh Parlemen, Sampai Kapan?

Diperbarui: 18 April 2021   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dino Jasuara; Gedung DPR.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia seperti tidak bisa lepas dari isu-isu yang kontroversial. Jika hanya fokus pada parlemen pemerintahan kedua dari Presiden Joko Widodo, ada beberapa kebijakan parlemen kita yang memantik kegaduhan di masyarakat, contoh Revisi Undang-Undang KPK, Undang-Undang Minerba, dan yang terbaru ialah Undang-Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law. Melalui perundangan-undangan tersebut, muncul beberapa gagasan kontra dari beberapa elemen masyarakat sipil, mulai dari buruh, pelajar atau mahasiswa, ormas keagaman dan ormas lainnya. Di media sosial pun, muncul tagar penolakan seperti #ReformasiDiKorupsi dan #MosiTidakPercaya terhadap undang-undang yang diebutkan diatas. Berbagai protes dan penolakan tersebut berasal dari tuduhan masyarakat kepada parlemen yang dianggap hanya mengedepankan kepentingan pengusaha/bisnis atau investor dalam UU yang telah disahkan atas nama ‘Pertumbuhan Ekonomi’. Hal tersebut dikhawatirkan masyarakat akan memperkuat politik oligarki di Indonesia khusunya di parlemen DPR.

      Berdasarkan realitas tersebut, topik ini sangat menarik untuk dipelajari karena bukan hanya banyaknya tuduhan masyarakat kepada DPR, tetapi topik ini berkaitan dengan lembaga yang seharusnya menjadi ujung tombak demokrasi di negeri ini serta menjadi bahan evaluasi untuk pemerintahan kedepannya. Penulis membuat mencari sumber-sumber kredibel yang diharapkan bisa menjawab isu dari permasalahan ini, apakah benar parlemen kita sudah diracuni oleh politik oligarki? Lalu, apa dampaknya bagi Indonesia? Sebelum menjawab isu tersebut, pertama kita mulai dari pengenalan oligarki terlebih dahulu

Apa itu Oligarki?

Oligarki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki definisi pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Tetapi penulis lebih memilih definisi menurut Winters (2013) dalam bukunya, yaitu oligarki di definisikan sebagai politik pertahanan kekayaan (harta/properti dan pendapatan), oleh oligark atau individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi sumber daya material untuk mempertahankan kekayaan pribadi & posisi sosial eksklusifnya. Dari definisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa oligarki adalah strategi politik untuk mempertahankan kekayaan segolongan orang saja.

Oligarki bukanlah hal yang baru, oligarki yang berasal dari bahasa yunani Ὀλιγαρχία, Oligarkhía yang bermakna ‘sedikit’ dan ‘memerintah’ sudah ada sejak pemerintahan kuno di yunani, dimana ekonomi dan politiknya dikuasai oleh kelompok bangsawan yang disebut patricians. Contoh pada masa kini yang paling terkenal ialah Uni Soviet, dimana orang orang yang mendukung birokratisasi Stalin akan mendapat jabatan di pemerintahan, sementara yang tidak mendukung akan disingkirkan dari pemerintahan bahkan dibunuh dengan kejam. Lalu bagaimana sejarah oligarki bisa berkembang di Indonesia?

Sejarah Oligarki di Indonesia

Indonesia sebagai negara demokrasi seperti tidak bisa lepas dari jerat oligarki. Walaupun telah dibatasi kekuasan secara lima tahunan dengan harapan adanya ‘wajah-wajah baru’ di pemerintahan. Namun, realitanya, masih banyak tokoh-tokoh yang berkuasa secara terus menerus sejak dulu atau diganti oleh saudara, menantu, bahkan ehm anak sendiri. Pada akhirnya pergantian dengan model tersebut menghasilkan sirkulasi elite bukan hanya di parlemen, tetapi di pemerintahan daerah bahkan pusat. Mungkin disinilah kekurangan demokrasi di Indonesia, yaitu suara mayoritas sebagai hasil akhir meskipun hasil tersebut tidak berkualitas.

Hal tersebut telah terjadi sejak era Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, dimana orang-orang yang mendukung rezim pemenang mendapat jabatan, hamper sama seperti kasus Uni Soviet. Dalam kasus tersebut, Winters (2011) menyebut kejadian tersebut sebagai ‘oligarki sultanistik’. Dalam teori ‘oligarki sultanistik’, sang oligark akan membuat strategi untuk mengkonsentrasikan kekuataanya, strategi tersebut dijalankan dengan ‘menghadiahi’ pendukung dengan akses dan jabatan penting untuk menghalangi pesaing.

Lalu bagaimana sekarang? Teori oligarki sultanistik tersebut masih relevan pada masa pemerintahan Presiden saat ini, khususnya pada masa pemerintahan kedua yang saat ini sedang berlangsung. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa menteri pada kabinet sekarang dahulunya ialah rival dari Presiden Jokowi pada pemilu kemarin, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pihak oposisi yang seharusnya menjadi pengawas pada pemerintahan saat ini berkurang sangat drastis. Selain itu, dalam pemerintah di era sekarang, menantu dan anak dari Presdien Joko Widodo menjadi pemimpin di Kota Solo dan Kota Medan. Hal ini menunjukan bahwa oligarki di Indonesia masih terus berjalan, walaupun sudah berbeda pihak oligarki dari masa awal/Orde Baru dengan sekarang.

Oligarki di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline