Oleh : Achmad faizal
Belakangan ini mungkin mata kita sering menyaksikan sebuah fenomena sosial berupa perubahan tata berbusana pada sebahagian kaum muslimin di sekitaran kita, pada idola artis kesayangan kita atau justru pada diri kita sendiri. Dari yang tadinya hanya berpakaian minim nan ketat, kini telah berhijrah dengan pakaian tertutup yang menjulur keseluruh tubuh. Dari yang tadinya masih menampakkan uraian rambut blonde nya, kini telah tertutupi oleh sanggulan hijab keluaran terbarunya. Dan untuk level hijrah (busana) tingkat tertinggi yakni dari yang tadinya telah berhijab kini telah berniqab (bercadar).
Selain busana, transformasi perubahan juga menyasar pada penggunaan bahasa. Dari yang tadinya ia menggunakan kata "kita/kau" berubah menjadi "antum", dari menggunakan kata "iye" berubah menjadi "na'am". Bahkan yang sebelumnya nama lengkapnya adalah misalnya supriadi kini berubah juga menjadi Abu sufyan al Makassari. Dari nama sebelumnya salma kini berubah menjadi ummu salamah. Deretan fenomena ini sering (mereka) disebut sebagai proses berhijrah.
Sebelum lebih jauh, ada perlunya kita menyinggkap hakikat hijrah itu sendiri. Secara definitif, konsep dan makna hijrah telah dikemukakan oleh berbagai pakar. Hijrah secara bahasa berarti ; berpindah atau meninggalkan. Kemudian dalam konteks sirah nabawi, hijrah menggambarkan sebuah momen historis perpindahan (migrasi) kaum muhajirin dari mekkah menuju Madinah. Sementara hijrah dalam konteks amalan perbuatan, ia dipahami sebagai proses perubahan sikap dan perilaku sang individu (dan kelompok) dari kebiasaan yang buruk menuju kebiasaan yang baik, dari awam nan fasik menjadi 'alim. Konkretnya adalah meninggalkan perkara kemaksiatan menuju perkara ketaatan disertai komitmen dalam diri untuk tidak kembali ke masa lalu yang kelam.
Pada dasarnya hijrah adalah tindakan yang mulia sebab individu hendak melepas segala perbuatan dosa yang selama ini telah membelenggu laku kehidupannya. Dan tentunya hakikat hijrah tidak berakhir manis di ujung lisan semata tetapi ia harus mampu diejawantahkan kedalam wujud tata laku yang mulia (akhlakul kharimah). Dengan kata lain, seorang individu yang telah berikrar untuk melakukan hijrah - baik busana maupun perilaku, maka harus siap menempuh jalan istiqamah.
Hijrah perbuatan atau hijrah cara berpakaian ?
Hijrah dan hidayah adalah sebuah entitas yang tak terpisahkan. Sang individu yang hendak berhijrah dengan kesungguhan niscaya ditopang oleh cahaya hidayah dari sang Pencipta. Namun sontak menjadi perhatian tatkala momen hijrah belakangan ini menjadi begitu massif dilakukan baik di kalangan anak muda maupun orang tua. Apakah fenomena hijrah ini sungguh - sungguh murni terjadi karena cahaya hidayah atau malah bentuk lain dari kelatahan beragama umat yang bersembunyi dibalik istilah hijrah ?.
Hatta, hal paling mendasar untuk dikemukakan adalah apa yang paling pertama harus dicapai dalam proses berhijrah ini ? Apakah mengubah perbuatan ataukah mengubah tata berpakaian ?. Tentu hal ini menjadi penting mengingat kedua hal tersebut adalah komponen hijrah yang harus terpenuhi. Namun faktualnya, jamak dari saudara kita yang hendak berhijrah masih sukar memahami hakikat hijrah itu sendiri. Terlebih fenomena hijrah hari ini lebih kepada "ikut-ikutan" ketimbang lahir dari proses perenungan yang mendalam.
Betapa banyak saudara kita yang telah mendeklarasikan diri telah berhijrah namun hanya masih berputar - putar pada proses perbaikan tata busana. Untuk kaum hawa misalnya, yang tadinya belum berhijab kini telah berhijab atau yang tadinya telah berhijab kini naik level dengan berhijab syar'i. Hal ini tentunya baik dan mulia karena ia telah menjalankan salah satu anjuran agama untuk berpakaian yang sesuai tuntunan agama. Tetapi apakah hal demikian yang menjadi subtansi hijrah ?
Pentingnya Hijrah Subtansi daripada Eksistensi
Kecendrungan saudara kita hari ini telah menganggap selesai proses hijrahnya tatkala telah berbusana syar'i atau telah fasih menggunakan istilah - istilah arab dalam proses berinteraksi. Alih - alih proses hijrahnya digiring kedalam proses kontemplasi makna dan hakikat kehidupan, malah sebagian justru terjebak pada kubangan penyakit sosial baru bernama narsisme dan konsumerisme. Dua penyakit sosial yang tengah mewabah dalam tubuh masyarakat (perkotaan) modern hari ini.