Lihat ke Halaman Asli

Bulan Ramadhan: Ajang menjadi Masyarakat Konsumerisme yang Shaleh

Diperbarui: 24 Juni 2016   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

source : foto.kompas.com

Bulan suci ramadhan merupakan bulan yang sangat istimewah dan eksklusif bagi seluruh umat islam di seluruh dunia yang didalamnya terdapat ritual-ritual khas yang barang tentu tidak dimiliki oleh di luar bulan itu, sebut saja ibadah puasa, shalat tarawih, dan zakat fitrah. Adapun output dari berpuasa itu sendiri sebagaimana telah terjelaskan dalam kita suci Al-Quran surah Al-Baqarah : 183 yaitu la allakum tattaqun (agar menjadi orang-orang yang bertaqwa).

Keistimewaan beribadah di bulan suci ramadhan sebagaimana reward yang telah dijanjikan oleh Allah SWT adalah gerbang pengampunan atas segala dosa dan kesalahan masa lalu terbuka lebar, pahala dilipatgandakan  hingga tiada batasnya, pintu –pintu syurga di buka dan pintu neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu,  hingga meraih puncak kenikmatan dari segala bentuk kenikmatan yaitu berjumpa dan menatap wajah Allah SWT di akhirat kelak. 

Bulan ramadhan menjadi ajang pelatihan bagi kaum muslimin untuk meng-upgrade dan meningkatkan kualitas individu muslim mulai dari ranah ruhiyah, jasmaniyah maupun insaniyah. Ketiga aspek tersebut kemudian diejawantahkan melalui proses pengendalian nafsu syahwat (birahi) , pereduksian sifat-sifat buruk manusia (bohong, dengki, marah, fitnah, ghibah) hingga pengontrolan atas keliaran hasrat konsumsi. Sehingga tatkala bulan ramadhan tiba penghujung masanya lalu pergi maka bersiaplah menyambut lahirnya “bayi-bayi” suci yang telah mendapatkan predikat taqwa.

Bulan Ramadhan dan Implikasi Sosial-Ekonomi

Sejenak bergeser dari permbincangan nilai-nilai transenden ketaqwaan yang melulu terfokus pada ranah peningkatan kualitas diri pribadi. Pertanyaan yang kemudian muncul yakni adakah nilai-nilai riil (fakta) baik pada aspek sosial, politik , budaya ataupun ekonomi yang mampu diturunkan dari predikat ketaqwaan tersebut ?. Mari berfikir lebih jauh serta melepas sejenak segala bentuk “iming-iming” surga dan pahala sebagai reward-Nya yang sifatnya sangat transenden antara hamba dan allah swt.

Sejatinya, sebagian besar ibadah yang kita tunaikan sepanjang bulan suci ramadhan ini memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang luar biasa. Dibaliknya tersimpan potensi penggerak yang mampu menyentuh akar ketimpangan sosial, menggugah rasa kepekaan sosial kita dan memantik kembali berbagai bentuk nilai-nilai humanitas lainnya.

Pertama, ibadah puasa yang kita laksanakan pada hakikatnya bukan hanya sekedar formalitas saja menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih jauh dari itu. Di balik ibadah puasa terdapat pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan kepada individu- individu muslim, bahwasanya ia ingin mengajarkan kita ber- verstehen (meminjam istilah bung Max Weber) terhadap kondisi orang-orang miskin, kaum marjinal, dan orang-orang sub-ordinat. 

Bahwa di luar dari zona nyaman kita terdapat segolongan manusia yang hampir tiap hari bergelut dengan teriakan lambung-lambung mereka menahan  lapar dan dahaga hingga harus banting tulang mengais rezeki demi menyumpal mulut mulut mereka dengan seonggok nasi. Dengan berpuasa, kita diharapkan mampu menempatkan diri ini dan seolah olah hidup (verstehen)  pada posisi mereka dan itulah nilai kemanusiaan yang paling utama dari berpuasa.

Kedua, ibadah khas lainnya di bulan suci ramadhan yang membawa misi kemanusiaan adalah zakat fitrah. Mayoritas umat islam tentunya telah mengetahui apa fungsi dari zakat fitrah yakni secara transenden sebagai sarana mensucikan dan memberikan keberkahan pada harta. Namun lebih jauh dari itu, apakah mayoritas umat islam sadar atau minimal tiba pada titik mengetahui bahwa zakat fitrah pun memiliki pesan kemanusiaan. 

Jika ditilik lebih dalam, ia mampu menjadi senjata ampuh dan konkrit dalam mereduksi ketimpangan sosial, kemiskinan maupun ketidakadilan sosial. Betapa tidak, menurut data BAZNAS (2015) potensi jumlah yang mampu dihasilkan dari akumulasi setoran zakat fitrah di Indonesia mencapai 200 triliyun lebih per tahun. Ini adalah upaya konkrit tatkala islam berbicara masalah kesejahteraan sosial, kemiskinan, ataupun ketimpangan sosial masyarakat Indonesia.

Itulah beberapa derivasi nilai-nilai humanitas dari predikat “taqwa” yang jarang dijamah oleh para da’i kita dan hanya melulu berkoar tentang makna ketaqwaan secara normatif. Sekiranya seluruh umat islam Indonesia tahu dan paham bahwasanya ibadah-ibadah mahdhahyang ditunaikan pun menyimpan implikasi gerakan sosial terkhusus di bulan suci ramadhan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline