Lihat ke Halaman Asli

Hajar Alfarisy

Menulis mengabadikan masa depan

Incumbent di Pilkada Tak Boleh Berkampanye

Diperbarui: 3 Agustus 2016   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://tribunsurakarta.com/wp-content/uploads/2015/09/Pilkada-Serentak-2015.jpg

Memerhatikan proses demokratisasi kepemimpinan di daerah mestinya tidak berhenti pada soal kebebasan warga negara dalam menentukan pilihan siapa yang akan memimpinnya, meskipun tak bisa dipungkiri penyerahan kepemimpinan dari masyarakat menjadi pilihan paling mendasar untuk menjembatani masyarakat dengan pemimpinnya. Melewati sesingkat argumentasi itu, menyelidiki dan menyajikan fenomena prilaku kepemimpinan kepala daerah menjadi penting untuk segera dilakukan agar kita tidak seperti orang kehausan yang berharap fatamorgana dipadang pasir, suatu oase kekeringan dalam gurun pasir demokrasitisasi.

Pilkada, mungkin bisa disebut sebagai satu bagian fatamorgana demokrasi bagi rakyat. Fenomena pilkada yang pada kenyataannya memberikan rentang waktu lima tahun kepada kepala daerah untuk mengorganisir kinerja pemerintahan dapat kita saksikan dengan seksama. Apakah memang pilkada tersebut lalu kemudian menghadirkan wajah yang ramah terhadap pertanyaan itu ataukah mereka telah berupaya mewujudkan gagasannya itu tentang kesejahteraan rakyat

Konsekwensi gagasan tentang pembenahan keadaan suatu daerah diwakili dengan program dan anggaran. Tentunya program itu akan dilaksanakan oleh siapa, sehingga setelah selesai pilkada, gagasan peubahan kemudian disajikan pertama kali dengan mutasi, selama satu tahun priode pertama menyusun harmonisasi keinerja pemerintahan. Mutasi sebagai bagian harmonisasi kinerja pemerintahaan semestinya berada dibawah gagasan perubahan, tetapi kemudian kita disajikan bagaimana mutasi lebih disebut sebagai upaya siasat politik menjaga kekuasaan.

Mengapa demikian, mutasi yang berulang – ulang menunjukkan bahwa pemilihan orang yang bekerja di satu organisasi pemerintahan menjauh dari gagasan perubahan, wajah mutasi sejak awalnya bukan menciptakan harmonisasi gagasan. Mungkin ia lebih disebut sebagai upaya menjaga kepentingan politik pemimpin kepala daerah.

Program bagi – bagi proyek pra dan pasca pilkada menjadi hal yang lumrah dilakukan, tentunya ini kemudian mengiliminasi kepentingan masyarakat untuk memperoleh perhatian serius, segaris lurus kemudian sebelum masa pilkada tim - tim pemenangan terbagi dalam pragementasi keberpihakan pada calon yang akan berinisiatif maju. Maka calon kepala daerah yang incumbent akan menforsir kekuatannya untuk memberikan proyek kepada tim tim yang masih setia, sementara disisi lain yang memilih jalan lain terbuang ditengah jalan.

Bagi kepala daerah yang akan maju kembali, masa dua tahun sebelum maju kembali digunakan mengatur siapa siapa yang akan mengisi birokrasi pemerintahan. Selain itu incumbent yang akan maju memulai jalan untuk membagi – bagi proyek dengan tujuan menjadikannya sebagai dana pemenangan. Jika dilihat dari itu, maka paling tidak bekerja yang serius untuk masyarakat tanpa pengaruh politik di masa dua tahun antara satu tahun pertama dan dua tahun terakhir. Waktu dua tahun untuk masyarakatpun masih diwakili kata “mungkin” apakah benar – benar untuk masyarakat atau tidak. Terjadilah pengabaiaan kepentingan mendasar rakyat.

Lalu apa yang harus dilakukan, hemat penulis salah satu alternatifnya yakni seorang kepala daerah yang akan bertarung kembali dalam pilkda harus dibuatkan aturan bahwa ia tidak lagi diberikan kesempatan untuk melakukan kampanye pemenangan dalam segala hal, kecuali sekedar menyampaikan bahwa ia maju kembali tidak lebih dari itu.

Pembatasan ini menjadi penting, sebab aturan ini kemudian mengharuskan kepala daerah untuk benar benar focus bekerja untuk masyarakat, pertama kepala daerah yang akan memperoleh gelar incumbent akan berpikir serius siapa yang akan menduduki instansi pemerintahan, sehingga memilih seseorang untuk pengisian jabatan karena kualitas yang menghadirkan wajah rakyat cerminnya, pentas tarian mutasi yang abnormal akan ditinggalkan. Pada akhirnya melahirkan pemerintahan yang berorientasi pada pemenangan harapan rakyat

Kedua, praktek bagi bagi proyek untuk pemenangan oleh kepala daerah akan berakhir, paling tidak mengalami penurunan, sebab anggaran memang digunakan untuk merumuskan kesejahteraan bagi masyarakat. korupsi penggunaan anggaran yang berkurang itu karena dana tersebut murni untuk masyarakat bukan lagi untuk persiapan cost politik ataupun money politik untuk maju kembali.

Implikasi dari tidak bolehnya incumbent melakukan kampanye dalam pilkada pada akhirnya bisa mengakibatkan terpentalnya mereka yang hanya berorientasi kekuasaan semata, mereka yang bergembira saat menjadi pemimpin dan tidak mau bekerja keras, para suksesor yang berniat korupsi dari uang rakyat. disisi yang lain mereka yang bekerja memang untuk orientasi kerakyatan tidak akan mengeluarkan mahar politik kepada partai politik.

Dari beberapa penjelasan itu, dilarangya seorang incumbent untuk berkamapanye hendaknya menyatakan bahwa kampanye sebenarnya adalah saat berada pada masa jabatan sebagai kepala daerah, masa lima tahun adalah waktu yang panjang untuk memenangkan hati rakyat. Dengan aturan itulah kita akan menyaksikan kampanye pemenangan selama lima tahun terjadi saat seorang menjabat sebagai kepala daerah. Meskipun memang akan ada pertanyaan apakah dengan pembatasan itu mereka akan mengahabiskan masa lima tahun untuk melakukan korupsi besar besaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline