Pendidikan merupakan sebuah kata yang sudah sangat tidak asing dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Saking sering mendengar tentang pendidikan, pandangan tentang pendidikan itu sendiri pun terbentuk melalui faktor siapa pembicaranya dan siapa pelakunya. Belakangan ini, banyak sekali kasus, persitiwa, atau berita mengenai pendidikan yang terjadi di Indonesia. Wajib sekolah 12 tahun menjadi satu-satunya tolak ukur kepintaran dan sekolah atau universitas merupakan hal mutlak yang hadir dalam benak masyarakat Indonesia ketika mendengar kata pendidikan. Padahal dalam maknanya pendidikan memiliki arti makna yang sangat luas dan tidak bisa dibatasi hanya dalam lingkup sekolah. Pandangan masyarakat inilah yang kemudian perlahan menimbulkan penurunan dan kesalahpahaman arti pentingnya pendidikan.
Ki Hajar Dewantara dalam kutipannya berkata, "setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah". Kutipan sederhana yang memiliki arti luas dan makna mendalam tentang arti pendidikan. Kita sejak kecil selalu tertanam pemikiran tentang pentingnya pendidikan untuk mencari pekerjaan, pendidikan untuk mendapatkan gelar, dan pendidikan untuk mencari angka sempurna. Namun dalam pendidikan, sempurna bukanlah sebuah tujuan utama dalam pendidikan, gelar bukanlah segalanya, dan pekerjaan tidaklah pasti bergantung pada bidang tertentu. Contoh nyatanya selalu hadir dalam kehidupan, seperti mahasiswa yang mengambil jurusan Teknik elektro, ada yang menjadi guru, dalam kasus awal terlahirnya ojek online, para ribuan mahasiswa berbondong-bondong mendaftarkan dirinya ke perusahaan tersebut dikarenakan gaji yang menjanjikan. Yang pada akhirnya makna pendidikan itu sendiri menjadi hilang karena uang. Hidup memang butuh uang, tp pendidikan sejatinya bukan bertujuan untuk memenuhi hal tersebut.
Yang dimaksud dalam setiap orang adalah guru merupakan bahwa segala sesuatu yang memberikan ilmu baru kepada kita bisa dikatakan seorang guru. Mungkin contoh dekat adalah bahwa orang tua merupakan guru sekaligus pendidikan pertama. Tentu saja pernyataan tersebut sangat benar, karena siapa lagi yang mengajarkan anak untuk berbicara, cara berjalan, dan hal lain yang belum pernah dilakukan oleh seorang bayi jika bukan orang tua dan lingkup rumah tangganya. Jika ingin melihat dalam contoh sehari-hari seperti jika kita melakukan sebuah kegiatan kemudian seseorang datang dengan memberikan saran, itu yang disebut sebagai guru. Teman curhat pun juga bisa dikatakan sebagai guru, karena bisa dikatakan teman kita sudah lebih berpengalaman dibandingkan kita yang masih meminta saran dan meminta bantuan.
Kemudian makna setiap tempat adalah lingkungan merupakan sesuatu yang memang harus dipahami secara lebih dalam. Seperti yang saya sampaikan pada bagian pembuka, bahwa masyarakat jika diberikan kata pendidikan pasti akan mengatakan sekolah. Itu benar, tp makna sekolah disini lebih luas daripada sekolah itu sendiri. Kita belajar kesopanan atau adat istiadat adalah contoh nyata bahwa kehidupan bermasyarakat merupakan sekolah itu sendiri. Saat pergi ke pasar, kita melihat para pembeli dan penjual melakukan transaksi, merupakan contoh bahwa pasar adalah sekolahnya. Setelah ditelusuri lebih lanjut, makna sekolah dalam konteks yang kita bicarakan adalah sebuah tempat khusus dimana kita mempelajari hal tertentu sesuai dengan tempatnya.
"Sekolah sekarang terlalu lembek, bahkan gurunya sendiri juga lembek terhadap muridnya hingga siswa-siswa yang seharusnya belum pantas malah dipantaskan untuk naik kelas", dikutip dari teman saya, Setya Novanta yang merupakan salah satu dari organisasi pergerakan mahasiswa. Kutipan di atas adalah salah satu kasus lainnya dimana guru dengan mudahnya memberi nilai "kasihan" kepada murid-muridnya. "Tidak seperti zaman dahulu, dimana jika tidak pantas maka kau tinggal, dan jika kau pantas, kau berhak untuk lanjut ke jenjang yang berikutnya" lanjut Setya. Dalam menelusuri hal ini, kita diperlukan untuk menilai dari dua sisi, pertama dari sisi guru kenapa mau memberikan nilai yang tidak jujur dan dari segi orang tua jika siswanya tidak lulus.
Dalam kasus nyata, banya sekali guru yang diprotes oleh orang tua siswa dimana orang tua siswa tersebut protes terhadap gurunya dan mengatakan bahwa anaknya pantas naik dikarenakan nilai-nilai yang diberikan layak untuk naik kelas. Meskipun begitu, respon guru dan kepala sekolah mengatakan bahwa tidak naik kelasnya siswa tersebut dikarenakan memiliki sifat dan perilaku yang kurang baik meskipun nilai memadai, dikutip dari gamalamanews.com. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa pendidikan bukan sebatas angka-angka, melainkan nilai-nilai moral dan sikap karena pendidikan tidak hanya mengejar coretan tinta pada kertas hasil sekolah, melainkan juga mengejar sikap dan karakter siswa dalam kehidupan nyata.
Dengan adanya kasus-kasus seperti ini, diharapkan bahwa jika kita sebagai orang tua wajib mendidik anaknya menjadi lebih baik dan mengerti bahwa anak tidak hanya belajar dari sekolah saja, melainkan lingkungan dan teman-teman sekitarnya. Dengan pemahaman yang matang, maka akan terbentuk manusia-manusia penerus bangsa yang baik dan bermartabat mulia. Sungguh sebuah tantangan besar untuk mewujudkan pendidikan yang idealis dan terstruktur, sebagai orang yang peduli akan pendidikan, hendaknya kita juga saling membantu dan melakukan sesuatu untuk meluruskan sesuatu yang berbelok. Karena pendidikan bukan sebatas mencari gelar, tetapi pendidikan ada untuk menyempurnakan manusia menjadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H