Lihat ke Halaman Asli

Alfarabi Maulana

Penulis Lepas

Si Hantu yang Miskin

Diperbarui: 9 November 2020   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sudut kelas itu selalu ada hantu yang siap membuat seisi kelas gaduh. Katanya hantu itu lebih menakutkan dari semua hantu yang ada. Hantu itu tidak seperti yang lainnya. Dia menatap tajam ke arah yang tidak dilihat oleh manusia yang ada di dalam kelas saat perlajaran berlangsung.

Suatu hari seperti biasa, hantu itu mengangkat tangan untuk bertanya suatu hal pada guru yang sedang mengajar. Kebetulan saat itu Pak Sosi yang mengajar mata pelajaran sosiologi yang jadi target pertanyaan si hantu.

"Pak, saya tidak mengerti kenapa harus ada perbedaan antara orang kaya dan orang miskin. Tolong jelaskan apakah perbedaan antara Anda yang kaya dan saya yang miskin?" katanya dengan suara jelas dan lantang.

Karena nadanya si hantu terkesan tinggi, maka Pak Sosi agak mengernyitkan dahinya dan menjawab dengan menahan emosi. "Perbedaan ada pada harta yang mereka miliki. Jadi mereka punya hak dan kewajiban yang berbeda."

"Contohnya Pak?"

"Contohnya adalah orang kaya punya tanggung jawab besar dalam menggerakkan ekonomi dengan resiko yang juga besar, jadi mereka sudah pasti punya hak untuk mendapatkan keuntungan yang besar juga dari yang mereka lakukan," tegas Pak Sosi merasa dirinya telah menjawab dengan benar.

"Lalu yang miskin?"

"Yang miskin seharusnya sadar dengan derajatnya dan mengikuti perintah dari atasan. Tidak usah lah demo-demo ke jalan dan membuat lalu lintas macet. Itu kan yang menjadi penghalang berkembangnya ekonomi," lanjut Pak Sosi. Guru itu sekarang merasa telah memberikan pelajaran yang tepat untuk si hantu yang selama ini meresahkan masyarakat.

Namun si hantu tidak gentar. Dia berdari dari kursi dan dengan tegas mengatakan, "Kita ini hidup bukan untuk jadi sapi perah Pak. Secara teoritis memang benar bahwa yang bertanggung jawab punya hak untuk keuntungan. Akan tetapi, bukankah yang miskin juga perlu hidup? Perlu senang-senang?"

"Kamu tuh ya--" perkataan Pak Sosi langsung dipotong.

"Kenyataannya Pak. Para pekerja itu keluar keringat sampai kulitnya hitam. Waktu untuk keluarga dikurangi karena target jam kerja yang harus dipenuhi. Bahkan ada yang berangkat kerja hanya untuk mendapatk ongkos pulang dengan tidak ada kepastian apakah besok masih dapat bekerja atau diberhentikan secara sepihak."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline