Lihat ke Halaman Asli

Perubahan Pola Gerakan Mahasiswa

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih terekam dalam ingatan kejadian kerusuhan 1998. Ada banyak versi sejarah tentang penyebab kerusuhan tersebut. Namun satu hal yang saya percaya bahwa rakyat Indonesia kala itu menginginkan adanya reformasi politik berupa demokrasi.

Gerakan mahasiswa, adalah yang menginisiasi terjadinya reformasi negeri. Mahasiswa di masa itu yang menggerakan gerakan massa yang massive ke gedung DPR-RI. Setelah reformasi pun, mahasiswa menjadi massa paling reaktif dalam menanggapi isu-isu sosial politik bangsa, dan cara paling populer digunakan di masa itu adalah....demo. Selepas reformasi, jumlah demonstrasi meningkat tajam, saya tidak heran mengingat 32tahun hidup dalam pemerintahan yang legaliter membuat rakyat Indonesia kehilangan hak menyampaikan pendapat dan berekspresi. Wajar lah apabila di masa itu saja demonstrasi dalam skala besar mampu mengkudeta seorang pemimpin. Hal ini memberikan sugesti psikologis sekaligus inspirasi bagi yang melihat, ya...mungkin saja...demo bisa membuat penguasa menuruti keinginanku...

Namun saya hari-hari ini melihat adanya sebuah anomali baru dalam pola gerakan mahasiswa. Bukan lagi sebuah gerakan yang bersifat anarkis, memaksa, mengancam, dan berakhir dengan bentrok, namun gerakan yang sukarela, dimulai dari kesadaran untuk melakukan hal yang benar, menjunjung tinggi moralitas. Gerakan sosial menjadi trend baru hari-hari ini. Apa itu? Seperti perkataan yang saya kutip dari dosen saya, gerakan sosial adalah gerakan yang bersifat kolektif, terorganisir, sustained, sukarela, bertujuan untuk menegur pembuat kebijakan dengan maksud mengubah keyakinan atau pandangan terhadap isu tertentu, dan mengajak agar mereka melakukan hal yang sama. Ketertarikan anak-anak muda untuk mengubah pola pikir mereka terhadap sebuah isu tertentu ini berbanding lurus dengan semakin banyaknya gerakan mahasiswa yang berbasis sosial hari-hari ini. Contohnya saja, Gerakan Indonesia Mengajar, Earth Hour, Greenpeace.org, 1000buku untuk Pulau Rote, dsb.

Tanpa membunuh karakter mahasiswa yang reaktif dalam menanggapi isu-isu kontemporer, gerakan sosial ini sebagian besar menawarkan konsep pemikiran don't talk too much, just act, seakan memberi sugesti bagi orang-orang bahwa yang dibutuhkan bukanlah kritik tajam tanpa adanya perbuatan untuk mengubah. Seringkali inilah statement yang menjadi celah bagi orang-orang yang melakukan demosntrasi, apalagi yang berujung dengan kekerasan. Gerakan-gerakan sosial ini terbukti lebih "diminati" oleh mahasiswa dalam 3-4tahun ini, karena mahasiswa diajari untuk reaktif tidak hanya sampai di emosi saja, namun sampai kepada keputusan untuk mau mengubah keadaan. Salah satu karakter gerakan sosial yang sukarela berarti dibutuhkan orang yang benar-benar memiliki hati untuk bahkan rela untuk tidak dibayar, tidak dikenal, tidak menerima feedback yang berarti dari melakukan semua aksi ini. Namun justru dari sinilah orang yang terlibat mengerti arti membayar harga untuk sebuah perubahan.

Let us start not to curse the darkness, but to light up the candles.

Salam,

Elisabeth W. Alfanisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline