Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan dan Toleransi Beragama (Evaluasi Toleransi Beragama 2010)

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Toleransi beragama di tahun 2010 ini seakan mencapai titik nadir setelah terjadinya pro-kontra seputar Ahmadiyah maupun keluhan sejumlah umat agama minoritas yang merasa dipersulit untuk mendirikan rumah ibadah dan bahkan berpuncak pada konflik horizontal dalam kasus gereja HKBP di Ciketing Bekasi. Terlepas dari doktrin Ahmadiyah yang keluar dari arus utama (mainstream) Islam yaitu dengan mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, para penganut Ahmadiyah adalah warga negara yang harus dilindungi hak-hak asasinya khususnya hak beribadah yang telah dijamin dalam UUD 1945.Sementara itu, walaupun ada tuduhan bahwa HKBP di Ciketing Bekasi telah memanipulasi dukungan warga setempat yang dibutuhkan untuk mendirikan tempat ibadah, umat HKBP juga jelas adalah warga negara yang punya hak untuk beribadah.Negara harus tegas dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya.Dua peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 2010 seakan menjadi lampu kuning bagi kita bahwa bangsa Indonesia masih rawan terhadap isu-isu toleransi beragama padahal kita sering mengklaim bahwa Indonesia adalah negeri yang majemuk dan menghargai perbedaan.

Pendidikan dan Toleransi Beragama

Munculnya toleransi beragama di masyarakat tentu tidak dapat muncul dengan sendirinya. Ia adalah buah dari proses pendidikan yang panjang yang senantiasa menekankan pada sikap menghargai perbedaan, apapun perbedaan itu. Kini, dengan derajat toleransi beragama yang makin menurun di masyarakat, agaknya perlu dicermati kembali bagaimana sistem dan proses pendidikan yang berjalan di masyarakat.

Ternyata, di tengah makin inklusifnya kehidupan sosial umat beragama dan makin sedikitnya dukungan kepada partai politik yang menjadikan agama sebagai labelnya, dunia pendidikan menunjukkan kecenderungan ekslusifitas beragama yang makin meningkat. Contohnya, makin maraknya sekolah-sekolah bernuansa agama yang bersifat ekslusif, terutama yang didirikan oleh swasta. Sekolah-sekolah swasta yang bernafaskan kebangsaan dan inklusif seperti Taman Siswa, Perguruan Cikini dan sebagainya kini kurang mendapatkan tempat di masyarakat. Para orang tua lebih memilih sekolah-sekolah yang bernafaskan agama bagi putra-putrinya dengan alasan bahwa pendidikan agama perlu ditanamkan secara dini. Di satu sisi, argumentasi tersebut sangat tepat, tapi di sisi yang lain sang anak kehilangan kesempatan untuk sedari dini mengenal teman-temannya yang berbeda agama. Tidak hanya kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda agama, anak juga seringkali mendapatkan doktrin agama yang ekslusif seperti doktrin “kafir masuk neraka”, “dilarang mengucapkan selamat hari raya” dan sebagainya.Dalam memori anak pun tersimpan doktrin-doktirn ekslusif tersebut, sehingga akan mempengaruhi perilakunya yang kurang bisa menghargai perbedaan, khususnya perbedaan agama.Dalam perspektif cognitive psychology, pengetahuan yang tersimpan dalam memori seorang anak akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap suatu masalah yang pada gilirannya akan menstimulus perilaku dan tindakan kesehariannya.

Lingkungan sekolah yang ekslusif tidak hanya terjadi pada sekolah-sekolah swasta, tapi juga terjadi di sekolah-sekolah negeri.Sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah yang seharusnya bercirikan inklusif justru malah ikut-ikutan trend masyarakat yang makin ekslusif. Di sekolah-sekolah negeri bahkan setiap hari Jumat mewajibkan siswanya yang muslim mengenakan busana Muslim, khususnya jilbab bagi pelajar putri. Bagaimana halnya dengan pelajar putri yang non Muslim, apakah mereka juga wajib berjilbab pada hari Jumat? Tentu tidak, mereka hanya wajib “menyesuaikan diri”. Dalam proses “penyesuaian diri” itulah banyak pelajar putri non Muslim yang mengalami perasaan diskriminasi dan dibedakan hanya karena mereka tidak berjilbab. Kewajiban berjilbab pada hari Jumat tersebut pun telah mereduksi substansi ajaran agama, seakan-akan berjibab “hanya” diwajibkan pada hari Jumat.Kesadaran untuk berjilbab pun tidak tumbuh dari motivasi pribadi siswi melainkan karena adanya “paksaan” dari negara.

Belum lagi, bila berbicara tentang muatan pelajaran agama di sekolah yang kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengenal agama di luar agamanya masing-masing. Kepada setiap siswa hanya ditanamkan tentang kebenaran agama dan keyakinan masing-masing, tanpa diberikan pemahaman bahwa “kebenaran” ada juga di agama lain. Sifat doktriner pelajaran agama di sekolah telah menutup ruang bagi siswa untuk mengenal “kebenaran” agama lain yang kemudian pada gilirannya dapat menimbulkan sikap menghargai perbedaan, sikap toleransi beragama. Guru agama di sekolah pun tampak kurang mampu mengajarkan ajaran agama yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan agama yang ada.

Padahal bila kita mencermati salah satu lembaga pendidikan masyarakat yang berakar kuat seperti pesantren, fenomena ekslusifisme tersebut jarang kita temui.Walaupun para santri pesantren 100% adalah muslim, namun pesantren mengajarkan doktrin keagamaan yang relatif terbuka dan menghargai perbedaan.Dengan mempelajari kitab kuning (kitab tafsir agama klasik), maka santri akan terbiasa menghargai perbedaan mengingat kitab kuning selalu memberikan banyak alternatif pilihan jawaban atas suatu masalah sosial-keagamaan dan menghindari nuansa hitam-putih atas suatu masalah sosial keagamaan.Hal inilah yang menyebabkan sangat jarang alumni pesantren yang menjadi aktivis gerakan Islam radikal apalagi terorisme.Para aktivis Islam radikal dan pelaku teror pada umumnya adalah muslim awam perkotaan yang relatif sedikit pengetahuan agamanya sehingga mudah terpengaruh ajaran Islam radikal khususnya paham Ikhwanul Muslimin dari Mesir dengan Hasan Al Banna dan Sayyid Quth sebagai tokoh-tokohnya.Telah banyak pengamat yang menduga bahwa doktrin Ikhwanul Muslimin yang ekslusif dan mencita-citakan berdirinya Khilafah Islamiyah (negara Islam) telah mempengaruhi banyak generasi muda perkotaan yang relatif sedikit pengetahuan agamanya.Oleh karena itu, menjadi penting bagi para alim ulama dan juga pemerintah untuk mendorong kurikulum pendidikan agama di sekolah dan masyarakat yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan.Bila pengetahuan agama para siswa dan juga masyarakat lebih baik diharapkan perilaku keberagamaan masyarakat akan lebih substanstif yaitu inti ajaran agama yangtidak pernah mengajarkan kekerasan dan pemaksaan pendapatl.Bila perilaku keberagamaan masyarakat semakin subtanstif, maka dengan sendirinya toleransi beragama terwujud. Semoga!

Alfanny, Mahasiswa Magister Sains Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline