Lihat ke Halaman Asli

Alfan Huda

Mahasiswa

ARIMA atau SVM, Metode Mana yang Lebih Efektif untuk Prediksi Hujan?

Diperbarui: 3 September 2024   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Prediksi Hujan dengan Machine learning. (Sumber: Tribunnews.com)

ARIMA atau SVM: Metode Mana yang Lebih Efektif untuk Prediksi Hujan?

Dalam era digital ini, kemampuan untuk memprediksi fenomena alam seperti hujan menjadi semakin penting, terutama dalam konteks perubahan iklim yang semakin tidak menentu. Prediksi hujan bukan hanya soal mengetahui kapan hujan akan turun, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat mempersiapkan diri, baik secara individu maupun kolektif, terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Oleh karena itu, teknologi dan metode prediksi cuaca terus dikembangkan untuk memberikan hasil yang lebih akurat dan dapat diandalkan. Dalam hal ini, dua metode utama yang sering digunakan adalah Support Vector Machine (SVM) dan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA).

Support Vector Machine (SVM) merupakan metode berbasis machine learning yang sangat efektif dalam menangani data yang bersifat non-linear. SVM telah digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk klasifikasi gambar, pengenalan pola, dan tentu saja, prediksi cuaca. Metode ini bekerja dengan mencari hyperplane terbaik yang memisahkan kelas-kelas data dalam dimensi tinggi, sehingga mampu memprediksi dengan akurasi yang tinggi. Di sisi lain, ARIMA adalah metode statistik yang lebih konvensional, tetapi sangat efektif untuk peramalan time series, terutama ketika data tersebut stasioner. ARIMA menggunakan data historis untuk membuat prediksi jangka pendek yang akurat, menjadikannya pilihan yang ideal untuk peramalan cuaca.

Dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh Nur Huda Riyantoni dan rekan-rekannya dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, perbandingan antara SVM dan ARIMA dalam memprediksi hujan di daerah Albury, Australia, menjadi fokus utama. Penelitian ini menggunakan data cuaca harian selama 10 tahun (2008-2017) yang mencakup 3040 titik data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun SVM berhasil mencapai tingkat akurasi yang cukup tinggi, ARIMA ternyata lebih unggul dengan tingkat kesalahan yang lebih rendah. Data ini menjadi landasan penting dalam memahami bagaimana kedua metode ini dapat dioptimalkan untuk prediksi cuaca yang lebih akurat. Menariknya, hasil tersebut tidak hanya membuktikan keefektifan ARIMA dalam konteks data time series tetapi juga menantang asumsi umum bahwa metode machine learning selalu lebih unggul dalam semua jenis prediksi.

***

Penelitian yang dilakukan oleh Riyantoni et al. (2023) , mengungkap beberapa temuan menarik terkait penggunaan SVM dan ARIMA dalam prediksi hujan. SVM, sebagai metode machine learning, memiliki keunggulan dalam menangani data yang kompleks dan non-linear. Dalam penelitian ini, SVM mampu mencapai tingkat akurasi tertinggi sebesar 99,671% ketika digunakan dengan kernel Polynomial dan metode random sampling pada platform KNIME. Namun, pada implementasi menggunakan Python dengan kernel RBF, tingkat akurasi terbaik yang dicapai adalah 97,532%. Meskipun angka ini cukup tinggi, hasil ini menunjukkan bahwa performa SVM sangat bergantung pada jenis kernel yang digunakan dan metode sampling yang diterapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah SVM selalu menjadi pilihan terbaik untuk semua jenis prediksi cuaca, terutama dalam skenario dengan variabilitas tinggi seperti prediksi hujan.

Sebaliknya, ARIMA, yang lebih sering digunakan dalam peramalan data time series, memberikan hasil yang lebih konsisten dalam penelitian ini. Dengan menggunakan data yang sama dan metode sampling stratified pada platform KNIME, ARIMA mencatatkan nilai Mean Absolute Error (MAE) sebesar 1,188, Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 1,254, dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) sebesar 0,989. Namun, ketika diimplementasikan dengan Python, ARIMA menunjukkan peningkatan performa yang signifikan dengan MAE sebesar 0,181, RMSE 0,254, dan MAPE 0,159. Angka-angka ini menunjukkan bahwa ARIMA mampu memberikan prediksi yang lebih akurat dengan tingkat kesalahan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan SVM.

Keberhasilan ARIMA dalam penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang tepat dalam analisis data time series. ARIMA bekerja dengan mengabaikan variabel independen dan fokus pada nilai historis dari variabel dependen, yang dalam konteks prediksi hujan, terbukti sangat efektif. Penggunaan ARIMA juga menyoroti pentingnya data yang stasioner, di mana proses diferensiasi dalam penelitian ini membantu memastikan bahwa data memenuhi syarat untuk diproses dengan model ARIMA. Data yang tidak stasioner bisa menyebabkan model ARIMA memberikan hasil yang tidak akurat, yang merupakan salah satu alasan mengapa langkah-langkah pra-pemrosesan seperti diferensiasi sangat penting.

Selain itu, hasil penelitian ini juga memberikan wawasan penting tentang bagaimana pilihan alat dan platform dapat mempengaruhi hasil prediksi. Meskipun KNIME memberikan hasil yang lebih baik untuk SVM, Python justru unggul dalam mengimplementasikan ARIMA. Ini menunjukkan bahwa selain pemilihan metode, pemilihan platform juga memainkan peran penting dalam hasil akhir prediksi. Penelitian ini, dengan demikian, memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang prediksi cuaca, khususnya dalam mengidentifikasi metode yang paling efektif untuk digunakan dalam kondisi tertentu.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline