Lihat ke Halaman Asli

Bersyukur Kopassuslah Penyerbu Lapas Cebongan

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keriuhan paska eksekusi maut di Lapas Cebongan Sleman, 23 Maret 2013 lalu, tak kunjung mereda. Meskipun TNI AD melalui Tim Investigasinya yang dipimpin oleh Brigjen Unggul K. Yudhoyono telah mengakui bahwa eksekusi itu dilakukan oleh personil Grup II Kopassus Kandang Menjangan Kartosuro, tidak juga meredakan opini dan adu pendapat di berbagai media massa dan media sosial. Pasalnya sikap masyarakat yang terbelah, mendukung tindakan Kopassus di satu sisi dan menentang tindakan itu atas karena menjadi simbol pengingkaran supremasi hukum di sisi lain, menjadikan kasus ini selalu mendapat tempat dalam banyak perbincangan.


Jika saja keempat korban yang dieksekusi itu adalah masyarakat biasa, mungkin semua orang akan mengutuk kejahatan itu. Namun dengan melihat latar belakang kejahatan-kejahatan yang dilakukan beberapa korban itu, menjadi wajar jika sebagian masyarakat justru mendukung tindakan anggota Kopassus itu. Apalagi dengan sikap sebagian masyarakat yang lain yang seolah menjadikan keempat korban eksekusi itu menjadi pahlawan, dengan mengarak jenazah itu berkeliling kota misalnya, justru semakin menumbuhkan rasa tidak suka bagi sebagian masyarakat lainnya. Memang ancaman premanisme dipandang cukup meresahkan masyarakat kita, sementara aparat kepolisian sendiri dirasa belum sepenuh hati dalam memberantas aksi premanisme  yang sekaligus memberikan rasa aman kepada warga masyarakat.


Nasi sudah menjadi bubur, apa yang sudah terjadi tak akan bisa kembali lagi. Seburuk apapun itu, kita mestinya bersyukur para personil Kopassuslah yang melakukan pembantaian itu. Bayangkan saja jika aksi penyerbuan itu dilakukan oleh masyarakat sipil, maka hidup kita akan semakin terteror oleh kejadian itu. Jika saja ada masyarakat sipil yang memiliki kemampuan dan persenjataan seperti apa yang dimiliki para pelaku, bisa jadi aksi kejahatan di negeri ini semakin menggila dengan kualitas kejahatan yang semakin berat pula. Padahal dengan kondisi yang ada saat ini pun, masyarakat sendiri sudah cukup muak dengan aneka jenis kejahatan dan aksi premanisme yang marak terjadi.


Jika kita mau menilik ke belakang, apa yang dilakukan oknum-oknum anggota Kopassus itu sebenarnya menjadi tamparan keras bagi penguasa. Jika saja hukum diberlakukan adil dan tak pandang bulu tentu saja peristiwa semacam itu tak akan terjadi. Peristiwa itu sekaligus membuka borok sistem peradilan kita, bagaimana seorang korban yang merupakan residivis dan pernah melakukan pembunuhan dan perkosaan hanya mendapat hukuman penjara yang ringan, yang tidak menimbulkan efek jera seperti apa yang menjadi tujuan hukuman itu sendiri. Jika saja hukuman penjara kita tidak lagi  memberikan efek jera, lalu apa yang mesti dilakukan? Menjadi wajar jika ada sebagian masyarakat justru mendukung ‘extra ordinary killing’ itu.


Peristiwa penyerbuan di Lapas Cebongan sekaligus menjadi tamparan keras juga bagi aparat kepolisian. Sikap terbuka TNI AD mengakui perbuatan anggotanya sangat bertolak belakang dengan sikap Polri saat ada anggotanya yang terseret kasus kejahatan. Percobaan kriminalisasi terhadap penyidik KPK saat mengusut kasus korupsi simulator SIM menjadi salah satu contoh. Belum lagi dugaan rekening gendut milik petinggi Polri hingga aksi-aksi Densus 88 yang menuai banyak kritik, tak jua kunjung terselesaikan. Aksi barbar di Lapas Cebongan itu juga menunjukkan bahwa pemberantasan premanisme yang dilakukan oleh Polri dirasa belum cukup sehingga Polri sendiri harus lebih banyak bertindak demi menciptakan rasa aman bagi masyarakat.


Dan bila para penguasa mampu dan mau belajar serta menelisik lebih jauh peristiwa memilukan dan memalukan ini, akan semakin terbukalah kebobrokan yang terjadi di negeri ini khususnya di bidang penegakan hukum. Padahal penegakan hukum adalah kunci keberlangsungan suatu negara serta wujud kewibawaan negara di mata rakyatnya. Jika tidak maka hukum rimbalah yang akan  menjadi raja dan saat itu kehancuran negara sudah di ambang mata. Atau, inikah yang diingini para penguasa?


Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline