Lihat ke Halaman Asli

Megabencana Jepang: Rakyat Jepang Sangat Percaya kepada Pemerintahnya

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1300296721908303760

[caption id="attachment_96515" align="aligncenter" width="640" caption="Anggota Pasukan Bela Diri Jepang mengiringi seorang nenek berjalan menuju lokasi yang lebih tinggi setelah peringatan tsunami kembali muncul pada Senin di dekat kota Soma, Prefektur Fukushima. Setelah gempa pada Jumat (11/3) lalu, Jepang terus diterpa gempa susulan/Admin (AP PHOTO/WALLY SANTANA)"][/caption] Ya, tidaklah salah jika disebut sebagai megabencana karena gempa 9 skala Richter yang melanda Jepang 11 Maret 2011 lalu memicu timbulnya tsunami yang tingginya hingga 10 meter dan menyebabkan ledakan pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi di utara kota Tokyo. Sampai hari ini dikabarkan lebih dari sepuluh ribu orang tewas dan sepuluh ribu orang lainnya hilang. Sebanyak 70 ribu jiwa kini diungsikan karena berada didalam zona bahaya yang beradius 20 km dari PLTN dan 140 ribu jiwa menunggu evakuasi karena zona bahaya akibat ledakan di PLTN Fukushima ditingkatkan menjadi radius 30 km, belum lagi sejumlah pengungsi yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa dan tsunami. Perdana Menteri Jepang, Naoko Kan, bereaksi cepat dengan mengumumkan keadaan darurat nasional hanya dua jam setelah gempa terjadi. Pemerintah Jepang terus menerus memacu proses evakuasi dan pendistribusian bantuan bagi korban ke seluruh wilayah bencana. Daerah Jepang timur laut menjadi fokus utama karena merupakan daerah terparah yang diterjang tsunami. Pasukan tentara Jepang yang diterjunkan untuk membantu pencarian korban dan menolong korban yang selamat juga ditingkatkan menjadi sekitar 100 ribu personel dan mengoperasikan 145 rumah sakit di seluruh daerah bencana, seperti dilaporkan harian Kompas hari ini. Di pulau Honshu, terutama di sepanjang pantai timurnya yang berhadapan langsung dengan pusat gempa terutama di kota Sendai saat ini krisis air bersih dan kekurangan bahan makanan melanda. Bahkan di Tokyo sendiripun pembelian bahan makanan juga dibatasi. Namun sampai saat ini belum terdengar kabar adanya kerusuhan maupun penjarahan akibat distribusi bantuan yang kurang dan terlambat seperti yang terjadi di Haiti beberapa waktu lalu. Pengungsi yang menjadi korban gempa dan tsunami di Jepang tetap tenang menghadapi keadaan, tertib dan sabar menunggu dan mengantri pembagian logistik meskipun suhu yang rendah karena musim dingin sedang berlangsung. Sikap masyarakat Jepang yang tabah, tenang dan sabar meski dalam suasana duka karena kehilangan kerabat dan harta benda menuai banyak pujian dari masyarakat internasional. Tidak terlihat di televisi perilaku histeris dari korban bencana itu, juga tak ada keluhan korban terhadap pernyataan dan aksi serta tindakan dari pemerintah Jepang. Dari sudut ini kita bisa menilai begitu tingginya kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pemerintahnya dalam melindungi dan melayani rakyatnya. Tidak timbulnya kerusuhan dan penjarahan akibat kekurangan logistik membuktikan bahwa rakyat Jepang tetap yakin pemerintahnya akan mencukupinya namun terkendala sulitnya akses dan begitu bantuan datang tidak serta merta berebut dan menjarahnya karena keyakinan bahwa bantuan yang diberikan pasti mencukupi untuk semua korban. Perilaku terpuji korban bencana di Jepang itu justru semakin memudahkan pemerintah Jepang bersikap lebih tenang dan fokus pada evakuasi, penyelamatan dan distribusi logistik. Apa yang terjadi di Jepang jauh sekali dengan cara masyarakat kita menghadapi bencana. Contoh yang paling baru adalah ketika terjadi erupsi Gunung Merapi bulan Oktober-November tahun lalu. Jatuhnya ratusan korban jiwa bisa dihindari jika masyarakat punya rasa kepercayaan kepada pemerintah. Evakuasi dan perintah pengosongan area yang dilakukan pemerintah pada lokasi yang rawan menjadi jalur luncuran 'wedhus gembel' diabaikan oleh rakyatnya sehingga jatuhlah korban jiwa. Hal ini tentu bisa dihindari jika masyarakat percaya penuh kepada pemerintahnya. Distribusi bantuan bagi korban bencana Merapipun carut-marut. Banyak lokasi yang mendapat logistik berlimpah sementara di tempat lain kekurangan logistik. Hampir semua donatur dan instansi yang berniat membantu korban Merapi bergerak sendiri-sendiri, bahkan ada ketegaan dari partai politik dan perusahaan mengibarkan bendera dan spanduk promosi. Jika ditelaah hal ini terjadi karena kurangnya kepercayaan masyarakat yang berniat membantu korban kepada pemerintah sehingga tidak memberikan bantuannya lewat pemerintah tapi disampaikan langsung kepada korban, disamping mungkin ada muatan kampanye dan berpariwara. Masyarakat yang menjadi korban letusan Merapi juga bersikap mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Hampir semua berebut bantuan bahkan ada juga yang mencegat kendaraan pengangkut logistik yang sebenarnya dikirim untuk daerah lain dan memaksa untuk menurunkannya. Sikap toleransi dan adat ketimuran sepertinya luntur pada situasi bencana itu. Dan salah satu sebabnya adalah rasa tidak percaya kepada pemerintahnya dalam upaya melindungi dan melayani rakyatnya. Berkaca pada bencana yang melanda Jepang dan sikap korban bencana itu, seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia yang menjadi korban bencana bisa mencontohnya. Pemerintah harus berupaya agar mendapat kepercayaan penuh dari rakyatnya dengan benar-benar berkomitmen dan bertindak sepenuh daya melindungi dan melayani rakyatnya. Sementara rakyat juga harus menaruh kepercayaan kepada pemerintah dengan tidak bertindak negatif ketika bencana melanda. Jika hal ini bisa terwujud tentunya akan menimbulkan kepercayaan dan penghargaan dari masyarakat internasional mengingat negara kita terletak di 'ring of fire' yang rawan bencana. Semoga -CMIIW-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline