Lihat ke Halaman Asli

Alfaiz Biamrillah

Mahasiswa UIN KHAS Jember

G30S KPK

Diperbarui: 8 Desember 2021   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

September kemarin sehabis berpolemik dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Disusul dengan pembiayaan komisi pemberantasan korupsi oleh panitia. Lalu akhirnya muncul surat resmi dari pimpinan KPK per 30 September 2021 sebanyak 56 pegawai diberhentikan setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan sebagai bagian dari alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Perlahan pemberantasan korupsi dimatikan. Secara sitemis maupun ideologis. Nurani publik masih belum menerima keputusan pemberhentian itu. Pasalnya, mereka yang diberhentikan bukan pegawai yang tidak loyal. Justru atas keloyalitasan mereka, dapat memberikan prestasi yang belum tentu disamai oleh yang lain.

Jika maksud pemberhentian itu lebih bermakna politis, maka hal ini dapat dianalisis dalam beberapa hal: pertama, KPK bukan lagi lembaga independen. Kepentingan politik yang dipegang oleh kelompok elit lebih atas segalanya. Hal ini dapt dilihat sejak pemilihan ketua KPK dan agenda brikutnya berupa revisi UU KPK.

Kedua, KPK yang selama ini digadang menjadi lembaga independen dalam pemberantasan korupsi sepertinya telah kehilangan ruh. Aura pemberantasan korupsi yang diharapkan menyentuh kelas kakap kini tiggal bayangan. Koruptor dapat bebas berpesta pora, sedangkan rakyat akan terus menderita.

Ketiga, penyelewengan kekuasaan sepertinya telah menjangkiti rezim. Pihak legislatif yang harusnya memegang peran penting tampak tak bergeming. Diskusi tentang pemberantasan korupsi telah acapkali dilakukan, tetapi penerapan dari penegak hukum serta pembuat aturan masih enggan dilakukan.

Oleh sebab itu, tragedi G30S KPK ini akan dicatat sebagai sejarah kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi yang dari dulu telah mengakar, ke depan tak lagi mampu dibendung. OTT yang hanya akan menyasar koruptor kelas-kelas teri, dan tak sanggup mengutik kelas kakap. Penguasa akan menyiapkan aturan yang lebih menguntungkan syahwat politiknya untuk semakin menikmati kekuasaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline