Nasi goreng adalah makanan yang secara penamaan paling jelas dan langsung bisa dipahami. Nasi goreng ya berarti nasi yang digoreng. Sangat simpel, bukan? Semua orang bahkan yang belum pernah melihat wujud nasi goreng sekalipun aku yakin bisa membayangkan akan seperti apa rupa nasi yang digoreng.
Sama seperti penamaannya, proses pembuatannya juga terbilang mudah. Bahkan di usia sekolah dasar, aku dan kawanku sudah pernah membuat nasi goreng versi kami sendiri, terlepas bagaimana rasanya. Cara pembuatan nasi goreng secara umum adalah dengan menggoreng nasi. Adapun berbagai variasi bumbu bisa ditambahkan sesuai selera lidah masing-masing, biasanya menyesuaikan dengan asal daerah tertentu.
Nasi goreng sendiri merupakan salah satu makanan yang punya tempat spesial di hatiku. Tentu ada cerita sendiri kenapa nasi goreng bisa terasa spesial dalam hidupku, apapun itu variannya, dari manapun asalnya. Nasi goreng mulai dari warung kaki lima sampai kelas restoran bagiku sama-sama merupakan sebuah kemewahan.
Aku mulai menyadari bahwa bisa makan nasi goreng adalah sebuah kemewahan untukku mungkin baru belakangan ini, yakni ketika di usia 20an. Meski demikian, dari dulu aku sudah amat menyukai nasi goreng. Nasi goreng pertama yang aku makan mungkin adalah bikinan Mamahku dan sekaligus yang membuatku jatuh cinta pada makanan ini.
Pada usia SMP, ketika aku sudah mondok, nasi goreng mulai jarang kutemukan. Kami anak pondok, sangat jarang makan nasi goreng. Salah satu hal yang menyebabkannya adalah karena akses menuju kompor yang begitu sulit. Kami bisa mengakses kompor dengan leluasa hanya ketika kebagian jadwal piket memasak dan itu mungkin bisa sebulan sekali.
Pun kalau sedang jadwal, kami harus mendahulukan tugas kami terlebih dahulu, yaitu memasak untuk satu pondok dengan jumlah santri pada waktu itu sekitar 800 sampai 1000 santri. Waktu masak dilakukan dari jam 22.00 dan baru selesai sekitar dini hari. Pada waktu itu lah kami baru diperbolehkan masak-masak rekreatif dengan satu-satunya menu andalan berupa nasi goreng.
Sebetulnya ada cara lain untuk bisa makan nasi goreng di pondok, yaitu dengan 'nitip' ke teman-teman yang piket masak. Biasanya, sebelum yang piket masak pergi ke dapur, kami akan bilang "kalau bikin nasgor, aku dibangunin, ya!" kalau kalian berteman dengan yang piket masak, besar kemungkinan akan dibangunkan. Kalau berteman akrab atau bahkan bersahabat, tidak perlu minta juga biasanya dibangunkan.
Tidak semua kawanku bisa membuat nasi goreng yang enak. Ada satu golongan santri putra yang terkenal pandai memasak nasi goreng dan itu akan kuceritakan nanti. Sisanya, jangan terlalu berharap pada nasi goreng buatan santri putra. Nasi goreng santri putra biasanya sangat berminyak, nasinya banyak yang menggumpal serta arah rasanya tidak jelas. Topingnya juga cuma telur, itupun sudah termasuk hebat. Meski tidak karuan, kami menikmati nasi goreng seperti itu.
Pernah ada masanya ketika aku mulai muak dengan nasi goreng yang dibuat santri putra. Tiap aku piket masak, teman-teman yang lain akan masak nasi goreng, aku memilih pulang duluan dan tidur. Kalau temanku yang piket masak dan menawariku nasi goreng, aku akan secara halus menolaknya. Hal ini mungkin karena aku mulai menemukan nasi goreng buatan santri yang enak di pondok, yaitu buatan santri putri.
Ada cara lain untuk bisa menikmati nasi goreng secara gratis di pondokku, terlebih nasi gorengnya lebih enak, yaitu lewat jalur santri putri. Sama halnya seperti santri putra, santri putri juga ada piket masak. Ketika yang piket masak adalah temanku, aku bisa minta sekalian dibuatkan nasi goreng olehnya. Sebagai imbalannya, kadang aku cuma modal patungan telur satu butir, pada kesempatan lain cuma modal terimakasih.
Kekurangan cara ini adalah legalitasnya. Perlu diketahui bahwa di pesantren, interaksi cowok-cewek sangat dibatasi. Jadi untuk bisa menikmati sepiring nasi goreng yang layak, aku harus mendobrak batasan tersebut dan berada di pinggir jurang menjadi kriminal di pesantren. Hal yang sama juga berlaku buat si cewek.