Pemerintah Indonesia telah menyediakan berbagai fasilitas bagi warganya untuk memperoleh pendidikan tinggi yang salah satunya adalah Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah). Fasilitas ini memberikan kesempatan bagi warga yang kurang mampu agar dapat menempuh pendidikan tinggi dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di media sosial mengenai penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran.
Permasalahan yang muncul tidak hanya sebatas KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran, melainkan juga munculnya perundungan kepada penerima KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran oleh pengguna media sosial. Perundungan ini bermula ketika beberapa pengguna Twitter (saat ini telah berganti nama menjadi X) mengenal penerima KIP Kuliah yang memiliki barang-barang mahal[i].
Kombinasi antara dua kejadian ini menjadi semakin rumit. Hal ini dikarenakan seseorang memiliki kecenderungan untuk mencari siapa yang "salah". Peristiwa serta proses ini harus dimaknai secara bijak agar dapat memberikan pencerahan bagi berbagai pihak.
Media Sosial yang Responsif
Era digital membuat seseorang dapat lebih mudah untuk memperoleh informasi serta meresponsnya. Respons ini merupakan salah satu wujud kepedulian masyarakat terhadap suatu peristiwa. Padahal mungkin saja peristiwa tersebut tidak akan berdampak langsung bagi dirinya.
Masyarakat akan lebih aktif untuk menanggapi sesuatu yang bertentangan dengan moral yang diyakini oleh dirinya maupun moral yang berlaku umum di masyarakat. Sifat responsif ini menunjukkan bahwa masyarakat telah mengimplementasikan "moral baik". Hal ini sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh Immanuel Kant bahwa moral baik merupakan suatu aksi yang bertujuan untuk menghormati hukum (moral) yang berlaku dan didasari pada moral yang diyakini oleh tiap individu[ii].
Moral dasar yang diyakini oleh banyak masyarakat Indonesia adalah peduli. Kepedulian antar sesama manusia inilah yang menggerakkan hati manusia untuk merespons peristiwa KIP Kuliah yang tidak tepat sasaran ini. Banyak masyarakat yang merasa kecewa dengan orang yang bersenang-senang dengan mengambil hak milik orang lain yang lebih membutuhkan. Kekecewaan terhadap moral yang tidak baik ini membentuk semangat gotong royong di masyarakat, khususnya pengguna media sosial, untuk mewujudkan moral baik sebagaimana mestinya.
Pengguna media sosial secara kolektif membangun suatu dasar-dasar moral yang akan diikuti dan bersumber dari akal budi masing-masing penggunanya. Hal ini sejalan dengan pemikiran menarik Immanuel Kant bahwa seseorang mengikuti moralitas berarti mengikuti hukum dan/atau moral yang bersumber dari akal budinya[iii]. Kumpulan dari akal budi ini akan membentuk suatu moral yang lebih dinamis karena banyak pihak yang terlibat dan setiap pihak belum tentu memiliki pengaruh yang setara dalam membentuk moral secara kolektif.
Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang seratus persen baik maupun seratus persen buruk, begitu pula dengan sikap responsif ini. Pengguna media sosial harus menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang tidak sempurna. Walaupun pengguna media sosial atau pun masyarakat lainnya sebagai makhluk otonom dapat membentuk moral , yang dalam hal ini adalah sikap responsif, terdapat sesuatu yang lebih berhak dalam menentukan suatu moral yaitu Tuhan.
Menurut Immanuel Kant, hanya Tuhan yang dapat berdaulat (sovereign) untuk menentukan moral karena manusia hanyalah anggota dari suatu kerajaan yang diciptakan oleh Tuhan[iv]. Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia hanya dapat mengikuti moral yang sejalan dengan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kebebasan yang otonom yang telah diberikan oleh Tuhan merupakan suatu tantangan bagi manusia untuk mencari hal yang benar.