Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Namun realita dalam kehidupan tidak semua orang mampu mencapai tujuan mulia tersebut, karena tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan perselisihan, pertengkaran, bahkan sampai menimbulkan perceraian. Banyak faktor yang menyebabkan gagalnya suami istri dalam mewujudkan keluarga harmonis, salah satunya adalah nusyuz.
Nusyuz adalah salah satu pihak keluarga dirinya lebih tinggi kedudukannya dengan salah satu lainnya, atau juga bisa diartikan dengan kedurhakaan salah satu anggota keluarga dengan tidak melakukan kewajiban yang semestinya, walaupun bisa dari keduanya dengan saling menuduh berawal dan saling menghujat terhadap salah satunya. Menurut Imam Syafi'i, nusyuz adalah perselisihan yang terjadi antara suami istri. Pada intinya nusyuz merupakan keadaan dimana terjadi ketidakharmonisan antara suami maupun istri, serta pergaulan yang tidak harmonis dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan permusuhan bahkan sampai tindakan kekerasan baik fisik maupun mental dari setiap anggota keluarga tersebut. Dalam islam nusyuz digunakan sebagai upaya memulihkan pasangan suami istri agar rukun dan harmonis kembali. Namun apabila hal ini tidak dimungkinkan, maka dapat diakhiri dengan jalan perceraian sebagai alternatif terakhir.
Islam memberikan konsep nusyuz agar digunakan oleh umat islam dalam mengantisipasi adanya perceraian. Namun penggunaan nusyuz ini bisa disalahgunakan untuk tindakan kekerasan yang mengatasnamakan nusyuz terhadap istri, bahkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami memiliki keabsahan hukum dalam agama (islam). Fenomena ketidakadilan gender seperti tindakan kekerasan fisik masih dirasakan oleh kaum perempuan terutama di Indonesia. Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender, mengabaikan hak hak perempuan. Banyak kaum perempuan yang masih dilemahkan dan didiskriminasikan hampir di seluruh ruang hidupnya. Bahkan dalam hukum terutama fiqh munakahat belum melindungi hak hak perempuan secara maksimal.
Di Indonesia terdapat produk hukum yang berasal dari kombinasi antara hukum positif dan fiqh munakahat, produk ini disebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengingat perlunya peran KHI sebagai produk hukum yang berlabel islam dan sebagai sarana bagi umat islam untuk memperoleh keadilan, akan tetapi pada kenyataannya dalam KHI masih mengandung konsep islam yang tidak sesuai dengan perspektif gender seperti kesetaraan (al-musawah, equality), keseimbangan (al-wazn, balance) dan keadilan (al-'adalah, justice). Sebagian pasal dalam KHI sudah tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, KHI masih terkandung kesan pemikiran ulama terdahulu, sehingga perlu dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun pasal dalam KHI yang dinilai diskriminatif adalah mengenai konsep nusyuz, karena hanya mengatur perihal nusyuz bagi istri dan tidak mengatur nusyuz bagi suami, sehingga terkesan menimbulkan ketidaksetaraan gender. Padahal dalam islam seharusnya menghadirkan keadilan dan keseimbangan. Dengan demikian, kehidupan rumah tangga masing masing anggota harus seimbang, sehingga suami kemungkinan besar juga tetap melakukan nusyuz.
Terjadinya nusyuz sebagai ketidakharmonisan antara suami istri berpotensi menimbulkan kekerasan terutama fisik. Kekerasan ini dapat berupa luka, cidera, kerusakan fisik, terganggunya mental, dll. Jika istri melakukan nusyuz maka kemungkinan suami akan melakukan kekerasan yang mengatasnamakan nusyuz. Hal ini kemungkinan besar terjadi mengingat beberapa konsep nusyuz dalam al-Qur'an bisa diartikan mengarah kepada perempuan apabila tidak dipahami secara komprehensif. Pemahaman nusyuznya istri dapat ditemukan dalam Surat an-Nisa' ayat 34, ayat ini menyinggung kondisi geografis masyarakat arab menempatkan laki-laki sebagai otoritas tunggal dalam mencari nafkah keluarga, pada saat melakukan peperangan juga mewajibkan pihak laki-laki yang terpenting. Sehingga menimbulkan budaya patriarki yang melahirkan asumsi kolektif.
Oleh karena itu, perlu adanya kesetaraan/keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh suami dan istri, dengan demikian segala hukuman yang dapat ditimpakan kepada istri tentunya bisa juga ditimpakan kepada suami. Dalam hal ini pelabelan sebagai pelaku kedurhakaan dalam nusyuz juga bisa berlaku bagi suami. Bahkan dalam realita kehidupan laki laki sebagai suami banyak yang tidak melakukan kewajibannya secara maksimal seperti tidak memenuhi nafkah sehari hari. Dengan demikian, dalam memahami konsep nusyuz tidak hanya dengan surat an-Nisa': 34. Melainkan juga harus memahami nusyuznya suami dalam surat an-Nisa':128
Dalam nusyuz cukup menjadi lahan subur diskriminasi gender yang berujung pada ketidakadilan gender (gender injustice). Dari sudut pandang gender hal-hal yang bisa disoroti adalah masalah pelaku nusyuz, ada kesenjangan bias gender, seolah olah nusyuz hanya terjadi dari pihak istri. Padahal dalam al-Qur'an sendiri dinyatakan nusyuz dapat terjadi dari pihak istri maupun suami. Bias gender ini diperkuat dan dibakukan dalam KHI yang berakibat semakin kuatnya anggapan publik terhadap nusyuz hanya berlaku bagi istri. Menurut perspektif feminism islam, nusyuz tidak hanya berlaku bagi istri namun juga suami. Kemudian mengenai sanksi nusyuz (akibat hukum) bagi istri yang melakukan nusyuz begitu jelas, namun tidak bagi nusyuz suami. KHI juga belum menjelaskan akibat hukum bagi suami yang nusyuz. Dengan demikian, masalah nusyuz bagi perempuan cukup rentan terjadinya ketidakadilan gender dan tindakan kekerasan baik tindakan itu dilakukan secara sadar oleh suami maupun karena ketidaktahuannya.
Realitas menunjukkan bahwa suboridinasi, marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan adalah fakta sosial yang tidak dapat diingkari oleh siapapun. Ketika teks-teks keagamaan membiarkan realitas ini maka dengan sendirinya agama dipandang telah ikut melegitimasi praktik-praktik diskriminasi tersebut. Konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan seluruhnya dalam sudut pandang masyarakat Indonesia masih mencerminkan penyesuaian fiqih timur tengah. Kemudian pemaknaan surat an-Nisa': 34 mencerminkan kebolehan laki-laki untuk menguasai laki-laki seperti boleh memukul, kebolehan tersebut merupakan hak suami karena mempunyai kedudukan yang lebih tinggi baik sebagai pemimpin maupun pemberi nafkah. KHI sebagai produk hukum yang berlabel islam dan sebagai sarana bagi umat islam untuk memperoleh keadilan, seharusnya sesuai dengan perspektif gender seperti persamaan (al-musawah, equality), keseimbangan (al-wazn, balance) dan keadilan (al-'adalah, justice).
Nusyuz sebagai konsep islam yang tetap eksis seharusnya sesuai dengan tinjauan HAM. Jangan sampai mengurangi hak-hak perempuan sebagai istri dengan mengatasnamakan nusyuz. Sesuai dengan konstitusi Indonesia menyatakan bahwa hak asasi dimiliki oleh setiap orang atau dengan istilah tiap-tiap warga negara yang menunjukkan bahwa hak konstitusional (constitutional rights) dimiliki oleh setiap individu tanpa membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin, dll. Oleh karena itu, perempuan selaku istri memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan karena statusnya sebagai istri. HAM sebagai konsep global mempunyai prinsip kesetaraan (equality), prinsip ini relevan untuk merekonstruksi konsep nusyuz dalam KHI. Karena berdasarkan prinsip ini, penerepan nusyuz yang hanya diberlakukan bagi istri melanggar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan prinsip ini pula, KHI seharusnya mengatur mengenai nusyuz suami terutama ketika suami tidak mau memenuhi berbagai kewajiban seperti nafkah sesuai dengan pasal 80 KHI. Selanjutnya mengenai langkah antisipasi nusyuznya istri menurut Surat an-Nisa':34 juga tidak sejalan dengan ketentuan KDRT yang tertuang dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal tersebut berbunyi "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga". Dengan adanya peraturan ini tentu akan menjadi payung hukum bagi perempuan selaku istri ketika suami melakukan kekerasan atas dasar nusyuz istri.
KHI sebagai produk hukum seharusnya mengadopsi nilai yang hidup dalam masyarakat agar dapat berfungsi sebagai pengendalian sosial serta rekayasa sosial (law as social control and social engeneering). Fungsi hukum mengenai pembaharuan konsep nusyuz dalam KHI seharusnya bisa mengendalikan tindakan kekerasan (ad-dorb) bagi suami serta mengubah pola kehidupan keluarga yang saling menghargai antara suami istri sehingga tercipta keseimbangan dan keadilan masing-masing anggota. Alasan perlunya pembaharuan KHI juga karena keluarga yang dibangun masyarakat Indonesia pada saat itu adalah patriarkis. KHI dilahirkan dari rahim orde baru yang mementingkan kepastian hukum dan ketertiban umum. Sehingga KHI masih mendapat pengaruh dari konfigurasi politik yang ada saat hukum tersebut disusun. KHI diharapkan dapat tersususn sebagai peraturan peraturan hukum islam yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan umat islam Indonesia. KHI bukan merupakan mazhab baru dalam fiqih, melainkan merupakan wujud dari penerapan berbagai mazhab fikih yang ada untuk menjawab persoalan yang ada di Indonesia.
Konsep nusyuz dalam KHI semakin mengukuhkan pandangan fiqih klasik yang mengandung nilai-nilai patriarki dalam memaknai konsep nusyuz yang mengesampingkan istilah nusyuz untuk suami, penyusunan fiqih klasik pada saat itu masih dipengaruhi oleh sosio-kultural penyusunnya. Selain dalam KHI, konsep nusyuz dalam fiqh al-munakahat juga cenderung ditunjukkan oleh istri, hal ini tidak terlepas dari posisi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Sehingga istri dituntut untuk memenuhi semua kewajibannya sebagai istri. Dengan adanya nusyuz pada istri hal ini mengisyaratkan bahwa istri tidak memenuhi pengabdiaanya kepada suami. Sebab pengabdian istri kepada suami sebagai konsekuensi bahwa dirinya menjadi tanggung jawab suami dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.