Lihat ke Halaman Asli

Alfa Anisa

Penulis Blitar

Danyang

Diperbarui: 26 Maret 2024   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Energi kehidupan Danyang berasal dari ingatan orang-orang tentang leluhur dan sesepuh desa. Jika ia tak  lagi diingat bahkan dikenal, kesejahteraan desa ini ...," jawab Mbah Pingin dengan nada sedikit terisak.

            Aku baru memahami ternyata Danyang memiliki kekuatan yang tak dapat ditafsirkan oleh manusia biasa.  Aku melirik jam tangan di tangan kanan, jarum panjang sudah menunjukkan pukul lima sore, sepertinya sudah saatnya pulang. "Kalau boleh tahu, dimana makam Mbah Abdul dan Mbah Jamal?" tanyaku ingin berziarah ke lokasi makam leluhur yang pernah mbabat kampung ini.

Di hadapanku duduk lelaki tua yang rambutnya telah memutih, memandang jalanan yang ramai oleh orang-orang memanggul sisa kayu gendang dari pabrik. Ia memalingkan wajah ke arahku, menghela napas berat.

            Harum kopi memenuhi udara, ia mengambil secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tipis di meja, lalu menatap lembut ke arahku, seolah menyilakan untuk meminum kopi di depanku. "Penjaga di kampung ini nyaris menghilang, orang-orang tak lagi peduli dengan keberadaan danyang. Padahal dulu kampung ini tumbuh dari doa-doa dan upacara penghormatan roh leluhur."

            Lelaki itu duduk dengan sangat tenang, sambil menyeruput kopinya pelan. Kedua matanya tampak menyipit, seolah ada racikan kopi yang tak sesuai dengan kebiasaannya. "Pasti yang bikin bukan simbok," gerutunya sedikit kesal, lalu meletakkan kembali ke meja.

            "Terimakasih sebelumnya jika kamu benar-benar memiliki niat baik untuk menuliskan kisah leluhur kampung ini. Sudah sekian lama aku ingin mengabadikan, tetapi apalah daya usia begitu terburu-buru memakan tubuhku," lelaki itu tertawa kecil, merasa kasihan terhadap tubuh rentanya yang kini banyak dihabiskan oleh rasa sakit, dan pikiran-pikiran hari tua.

            Aku membalas dengan senyuman, sesekali memerhatikan tubuhnya yang mulai dihinggapi rasa lelah. Posturnya tak lagi tegap, tampak sedikit membungkuk dengan kulit gelap yang kupastikan telah lama berdiam di sekujur tubuhnya. "Bukankah dulu kampung ini menjadi pusat kerajinan gendang mulai dikenal orang-orang?" Aku bertanya dengan raut wajah mengernyit, mengingat sepanjang jalan menuju rumah lelaki di hadapanku, pusat kerajinan gendang tak lagi riuh.

            Lelaki yang ternyata bernama Mbah Pingi itu mendesah, sorot matanya tampak sayu, seolah ada beban berat yang menggantung di pikirannya. "Semenjak upacara dan ziarah kepada roh leluhur tak lagi rutin diadakan tiap tahun, dan orang-orang tak lagi mengenal leluhur yang pernah menanamkan doa-doa dan wirid di tanah kampung ini, para Danyang tak lagi mendapatkan kekuatan untuk membantu kemakmuran,"

            "Danyang?" tanyaku spontan saja. Aku pernah beberapa kali mendengar tentang Danyang dalam setiap ritual atau upacara adat Jawa, tapi aku baru pertama kali mendengar bahwa kekuatan Danyang ternyata bisa melemah.

            Mbah Pingi menatapku tajam, angin sore yang dibawa mendung sejak pagi tiba-tiba berembus kuat. Ada dingin yang mendadak mendatangi seluruh pori-pori, udara sekitar menjadi lembap, aroma hujan seketika menguar tipis. "Danyang yang menjaga kampung ini," Mbah Pingi menjawab dengan nada tenang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline