Jika manusia adalah makhluk tanpa ego, bisa jadi manusia-manusia sudah menjelajah galaksi-galaksi dan menemukan kehidupan lain beserta habitat cadangan di semesta lain jika Bumi sudah menua dengan alami dan kehilangan panas intinya. Sains berkembang untuk sustainability, bukan untuk capital. Jika saja.
Namun mayoritas, manusia adalah ego, adalah gengsi, adalah kepentingan pribadi. Bahkan di dalam konteksnya sebagai makhluk sosial sekalipun, egonya tidak tidak dapat dibunuh. Ego terus tembuh di bawah bayang-bayang manuver politik setiap aspek kemasyarakatan dalam balutan kepentingan golongan. Golongan. Bukan spesies.
Maka yang terjadi selanjutnya adalah proyek-proyek sains yang nyata-nyata dapat menjadi solusi dari pemanasan global dan perusakan lingkungan tahap lanjut dan turunannya, ditutup. Beberapa disabotase. Semua demi kepentingan satu golongan: Industri yang digerakkan oleh Hidrokarbon. Proyek-proyek tersebut dapat mengganggu penjualan produk ; Minyak Mentah, Gas, Mobil, Motor, Generator, Mesin Pabrik, dsb. Tentu kita masih ingat mobil listrik yang didukung penuh oleh Dahlan Iskan, harus masuk gudang. Para pelaku industri otomotif Indonesia merasa begitu terancam. Jalan keluarnya mudah: hancurkan produk tersebut lewat regulasi dan birokrasi. Money is cheap for them but so shining for pejabat-pejabat pengawas dan pembuat regulasi. Mobil nasional hancur, mobil listrik hancur. Dan contoh ini baru skala nasional, belum skala internasional.
Di luar negeri ini, riset-riset mengenai energi alternatif memang masif, tapi sedikit yang masuk ke skala industri. Banyak yang masih dalam skala Lab, karena pihak Industri tidak mau menyerapnya. Alasannya satu: buat apa mengganggu pasar yang sudah settle dengan barang baru? Maka Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di dunia sulit berkembang. Industri energi tak terbaharukan beserta industri pendukung dan terapannya adalah siklus yang sulit diputus. Sebagian besar mesin yang menggerakan dunia adalah mesin dengan ruang pembakaran. Bayangkan betapa masifnya ekosistem yang harus dirubah. Mulai dari produksi barang sampai dengan distribusi ke konsumen, hampir semuanya digerakkan oleh bahan bakar fosil, kalaupun dengan bertenaga listrik, listriknya kebanyakan dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau Uap. Mulai dari eksplorasi sampai masuk ke tahap penyulingan, berapa investasi yang telah dikeluarkan dan harus dibuang jika energi fosil ini harus beralih begitu saja? Kita bicara uang ratusan miliaran dollar di sini dan apa yang bisa dilakukan dengannya, silakan tanya ke John. D. Rockfeller. Jelas, energi alternatif terbaharukan menghadapi dinding tebal raksasa yang belum mau dirubuhkan dalam waktu dekat oleh para pemangku kepentingan.
Dan di sini lah kita sekarang, kepentingan keberlangsungan hidup kolonal jadi nomer sekian di bawah kepentingan kantong kantong dollar.
Sains memang berkembang, tapi sains yang bukan membawa sebuah lompatan besar sebagai spesies, melainkan sains yang mendukung konsumerisme dan kepentingan indvidu.
Beruntung, kita masih punya manusia yang visionaris seperti Ellon Musk dengan SpaceX dan Tesla nya, juga Dahlan Iskan dengan segala beasiswa dan ikhtiarnya. Mereka yang masih percaya dan tabah, mendukung dengan usaha nyata, mencoba menyediakan jalan keluar apabila dinding raksasa yang tebal itu ternyata harus runtuh.
Di bawah adalah curahan hari seorang brilian dari Indonesia, Ricky Elson, peneliti cerdas yang dengan gagahny, berani bersusah-susah mengembangkan penilitiannya di lingkungan yang kurang bersahabat dengan sains itu sendiri, menjadi wujud nyata. Penari Langit dari Ricky Elson untuk Sumba.
http://www.jawapos.com/read/2016/04/20/24634/penari-langit-dan-impian-kami-untuk-dunia/1
http://www.jawapos.com/read/2016/04/18/24345/penari-langit-di-lokasi-steak-tujuh-ons/1