Lihat ke Halaman Asli

Goenawan Mangoenkoesoemo, Cermin Kebangkitan Bangsa yang Tidak Tersorot

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Goenawan Mangoenkoesoemo saat itu bukan tokoh penting dalam basis perjuangan Indonesia. Ia hanya seorang mahasiswa STOVIA, sebuah sekolah dokter khusus pribumi, yang di dalam tubuhnya mengalir deras darah seorang pemberontak. Kakeknya adalah Mangoensastro, seorang abdi Pangeran Diponegoro yang selamat selama Perang Jawa berlangsung. Goenawan muda gelisah, layaknya tokoh perjuangan lainnya.

STOVIA adalah sekolah tinggi khusus priyayi. Lingkungannya elit, dan jarang menyentuh masyarakat lapisan bawah: sebuah lingkaran yang dibentuk Belanda untuk membentengi pribumi “beruntung” dari penderitaan visual yang dapat menimbulkan gejolak pemberontakan. Priyayi lainnya berhasil dibuat terlena. Banyak diantaranya yang tidak menyadari bahwa hidup mapan yang didapatkannya adalah hasil dari status “piaraan” Belanda. Goenawan muda sadar akan hal ini.

Satu langkah di depan, ada Dr. Soetomo yang hadir atas gagasannya untuk membentuk wadah atas gagasan-gagasan yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya. Goenawan tertarik. Ia bergabung. Bersama dengan kakaknya, Tjipto, dan temannya, Soeraji, Goenawan ikut memasang badan bagi kehadiran organisasi yang terdiri dari para cendikiawan muda. Ia sadar, negeri ini butuh motor, bukan hanya sekedar blue print konsep-konsep. Bodie Oetomo pun lahir sebagai penanda. Sekumpulan pemuda yang resah, yang sadar bahwa tidak semua orang adalah priyayi. Goenawan muda bergerak.

Boedi Oetomo berkembang, pengaruhnya meluas. Dan seperti kebanyakan organisasi lainnya saat ia membesar, ia memecah. Goenawan tahu hal ini tidaklah baik, banyak para petinggi yang berdiri lain jalan, bahkan lain tujuan. Pihak konservatif tidak ingin Boedi Oetomo masuk ke kancah politik. Sementara di lain sisi, pihak progresif ingin Boedi Oetomo tetap berjuang lewat kebudayaan. Goenawan memilih berjuang lewat kebudayaan. Baginya politik praktis hanya akan menghadirkan nasionalisme setempat, yaitu Jawa, mengingat pada waktu itu diskriminasi bagi warga non-Jawa sangatlah kental, sementara Goenawan ingin rasa nasionalisme yang dia perjuangkan dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Maka ia bertahan di Boedi Oetomo walaupun organisasi ini mulai kehilangan pamornya dalam perjuangan politik. Goenawan konsisten pada perjuangannya.

Perjuangan Goenawan mungkin tidaklah semegah perjuangan kakaknya Tjipto Mangoenkoesoemo atau Soewardi Soeryaningrat. Ia punya jalannya sendiri. Jelas baginya membudayakan negeri ini untuk berbudaya adalah penting. Negeri ini harus berbudaya untuk sadar. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran nalar. Kesadaran yang paling mendasar bahwa bangsa Indonesia semuanya berhak memiliki status orang merdeka, status yang lebih tinggi dari priyayi Jawa. Para priyayi yang lupa, karena hidupnya sudah nyaman, bahwa mereka hanyalah boneka penjaga stabilitas komunitas agar tidak bergejolak. Bahwa kodrat manusia untuk merdeka menentukan nasib, haruslah menjadi sebuah alasan yang dimiliki rakyat untuk berjuang. Maka Goenawan pun sejajar dengan para pejuang politik kemerdekaan lainnya. Goenawan, sama halnya dengan Dr. Soetomo, ia adalah tali sumbu, mesiu, sekaligus detonator bagi perjuangan kemerdekaan non-fisik. Ia hadir sebagai intuisi bangsa bahwa negeri ini perlu bebas. Bebas dari berbagai macam bentuk pembatasan eksklusif-isme kedaerahan,feodalisme, dan segala macam bentuk langkah politik kolonial busuk Belanda lainnya. Negeri ini harus bebas untuk bersatu tanpa ada garis batas warna.

***

Fakta sejarah jelas menunjukkan, kebudayaan tinggi hanya dimiliki oleh negeri-negeri yang makmur. Kebutuhan dasar manusia harus tercukupi sebelum ia dapat berpikir tentang kebudayaan yang maju. Perut mereka harus penuh, tubuh mereka harus tetap hangat, tempat tidur haruslah layak, dan mereka harus merdeka. Dengannya, mereka dapat menyusun tatanan sosial dan juga kesenian yang lebih baik.

Belakangan kita sadar, bahwa Yunani sekarang tidaklah sebaik Yunani dahulu. Yunani dahulu adalah Yunani yang makmur dan cerdas. Namun sekarang ia bergejolak dan juga padam dengan sendirinya. Kebudayaan tinggi yang pernah dimilikinya adalah satu-satunya harta karun yang dapat dijadikan pegangan untuk bermimpi. Bermimpi bahwa ada tahun-tahun di mana negeri ini pernah bersinar sangat benderang hingga hampir menjadi pusat kebudayaan manusia maju pada zamannya. Tidak lebih dari mimpi. Yunani rupanya bukan penerjemah mimpi yang baik. Walaupun ia memiliki pejuang-pejuang budaya yang gigih, ia sekarang terjebak.

Berbeda dengan Yunani. Indonesia bangkit berkali-kali. Mimpinya adalah merdeka seutuhnya dan itu, secara fisik, sudah terwujud. Ia pernah bangkit sekali waktu, yang diperingati pada tanggal 20 Mei. Ia, yang katanya telah bangkit secara serentak, tidak sadar bahwa beberapa bagiannya telah tersungkur, tidak serentak. Maka jadilah Indonesia yang sekarang ini. Indonesia yang pejuang budayanya adalah mereka yang sulit untuk menjadi makmur seperti politisi. Belum lagi pembangunan yang tidak merata menyebabkan keadaan antar provinsi terlalu renggang. Ada yang menjulang tinggi sendiri, ada yang terperosok sendiri, ada yang berdiri sama tinggi dengan lainnya. Beberapa bahkan hanya menjadi sapi perah untuk mengisi kas-kas negara beserta cecunguknya yang korup. Bangsa ini lupa bahwa ia pernah bangkit secara nasional. Bangsa ini, lebih parah dari Yunani, tidak punya mimpi lagi. Ia tersendat.

Maka Goenawan diharapkan muncul lagi.

Ia harus hadir untuk menularkan mimpi-mimpinya tentang kebangkitan nasional sekali lagi. Lewat budaya, seperti aspek perjuangannya dahulu, adalah cara yang tepat untuk membangkitkan negeri ini. Lewat budaya, walaupun perlahan, tapi ia pasti. Negeri ini perlu diberikan budaya baru, budaya bermimpi seperti Yunani tentang masa-masa kejayaannya terdahulu, dan budaya mewujudkannya seperti apa yang telah dilakukan Goenawan. Budaya mengombinasikan keduanya agar Indonesia tidak terjebak dan tersendat.

Kebangkitan nasional harus hadir dalam bentuk lain. Bentuk cermin pada masa lalu, bentuk motor untuk masa sekarang. Indonesia butuh evolusi, bukan revolusi. Kebangkitan nasional haruslah berupa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat secara merata, secara nasional. Rasa persatuan negeri, seperti yang diupayakan Goenawan terdahulu adalah mutlak untuk dicerminkan agar perbandingannya dapat terlihat. Dengannya kebangkitan nasional tidak lagi ada untuk hanya sekedar diterjemahkan, melainkan untuk dilakukan kembali lewat pembudayaan bermimpi akan kejayaan masa lalu seperti rakyat Yunani, dan diwujudkan laiknya Goenawan. Mimpi ini perlu ada untuk meyakinkan mereka yang ragu bahwa negeri ini bisa bangkit, karena ia pernah bangkit serentak suatu waktu lalu. Karenanya generasi muda adalah media reinkarnasi yang tepat bagi perjuangan Goenawan. Generasi muda diharapkan lebih mampu bertindak dan berjuang konsisten walaupun perjuangannya nantinya tanpa pamor, seperti Goenawan yang meyakini pilihannya untuk tidak masuk ke politik yang penuh pamor adalah benar.

Goenawan, dapat ditempatkan pada tiap-tiap model perjuangan generasi muda, agar generasi ini sadar yang penuh pamor tidak selalu benar, yang tidak megah tidak selalu kerdil. Dengannya, penerjemahan kebangkitan nasional dapat dijadikan solusi mudah untuk memecahkan permasalahan negeri ini: disintegrasi, ketidakjujuran, dan rasa putus asa untuk memperbaiki.



Surabaya, 4 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline