Lihat ke Halaman Asli

Berhenti Menulis

Diperbarui: 19 November 2019   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memikirkan berkali-kali untuk menghentikan kebiasaanku menulis. Istriku sudah berkali-kali mengingatkan, tak ada guna mempertahankan hobi untuk menuliskan sebuah fiksi yang akan menjadi hiburan saja, namun tak sanggup untuk mengepulkan asap di dapur. Sebenarnya dia cukup sabar menghadapi suaminya yang tak pernah memberikan perut kenyang bagi dirinya. Apalagi beberapa minggu lalu, kami mendapatkan kabar gembira, yang entah mana aku merasa juga sedikit sedih mendengarnya. Kami akan memiliki anak. 

Dua tahun lalu kami menikah, dan kami sengaja menunda untuk memiliki anak. Aku masih muda, dan dia masih muda. Umur kami baru 21 tahun ketika kami menikah. Menjalani kerja seadanya sambil melanjutkan kuliah kami. Orangtua kami sempat menentang keputusan kami. Namun, dengan meyakinkan bahwa rejeki ada di tangan Tuhan, kami pun menikah secara sederhana di KUA tanpa ada resepsi ataupun pesta mewah. Kami hanya mengundang tetangga dengan suguhan yang sederhana saja.

Menulis bagiku adalah sebuah kenikmatan dari menjalani kehidupan. Aku tidak berkata bahwa aku berbakat dalam menulis. Aku hanya menyukainya, itu saja. Beberapa naskah novel telah kurampungkan dan telah kucoba kukirimkan ke berbagai media cetak maupun penerbit. Jawabannya sama, kurang menarik. Di era dimana buku menjadi barang yang mulai ditinggalkan, penerbit sekarang lebih berhati-hati dalam memilih naskah yang akan dirilisnya. Kebanyakan naskah yang diterima saat ini adalah novel dengan genre metropop atau cinta-cinta ala remaja, jauh dari topik novel yang kuangkat yang lebih ke arah relijius dan kekayaan budaya.

Aku dan istriku bertengkar hebat lantaran hobi menulisku ini. Memilih untuk meninggalkan rumah dan tak kembali sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan semuanya.

***

Aku memutuskan untuk mengakhiri semua.
Meninggalkan satu mimpiku demi mengejar mimpi lain yang terlihat lebih nyata

Menjadi seorang suami
Menjadi seorang laki-laki yang bernama ayah 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline