Mengingat sore saat kau mengenggam tanganku. Begitu erat dan begitu menyenangkan.
Kita berjalan-jalan berdua menikmati segala bentuk hiburan dan pemandangan yang dapat kita terawang, sejauh mata membidiknya. Aku melihatmu tersenyum dan tertawa dengan begitu riang. Hingga aku mempercayai ini kali pertama dalam hidupku bahwa aku mampu membuat seseorang bahagia. Aku mampu melihat masa depan yang lebih baik saat aku melihat sosokmu di depanku. Aku mampu mengatakan pada diriku bahwa inilah kali pertama aku menemukan tujuan di dalam hidupku. Ya... Membahagiakanmu. Membahagiakan kita.
Sepasang waktu telah berlalu dan lambat-lambat, senyum itu mulai memudar.
Setiap hari hanya diisi oleh kemarahan dan tangisan, entah itu isak tangismu atau isak tangisku yang kutumpahkan secara sembunyi di balik dinding kamar kita. Kita berdua sama-sama tahu bahwa kita telah mengenggam jari-jari yang patah. Berusaha tetap bersama meski itu hanya meninggalkan luka. Berusaha tetap bersama hanya karena satu alasan, takut sendiri.
Bagi kita berjalan bersama sambil menahan darah yang bercucuran di dada-dada kita, masih lebih baik daripada kebebasan terbang sendiri namun tidak tahu kemana harus kembali. Bagi kita saling menusuk dan melukai satu sama lain, masih lebih baik daripada menatap nanar kebahagiaan orang lain, meski itu kadang hanya sebuah topeng palsu untuk menutupi kesedihan.
Tulangku telah rapuh, darahku telah mendidih, jiwaku perlahan menghilang dan yang tersisa hanyalah jemari-jemari patah ini untuk kau genggam. Hingga kita tak sanggup lagi bersama, melepaskan jemari terakhir kita dan pergi merawat luka yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H