Lihat ke Halaman Asli

Tiada Hari Bersama Ayah (Part 2 of 3)

Diperbarui: 30 Desember 2016   10:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: http://www.konfrontasi.com

Pak Reno mulai menggulung baju merah lengan panjang miliknya. Aku sontak terkaget atas apa yang dilakukannya. 

"Pak Reno, apa yang anda..."

Aku tiba-tiba menghentikan perkataanku. Apa yang kulihat sungguh sangat mengerikan. Bekas sayatan luka yang sangat banyak - yang aku yakin itu karena goresan silet atau pisau, disertai lebam dan merah yang nampak jelas. Bahkan beberapa diantara luka sayatan itu masih terlihat sangat baru.

"Ini adalah rahasia saya Pak Hans." Bulu kudukku sedikit berdiri mendengar dirinya menyeringai.

Aku kemudian terdiam. Sepertinya masalah yang sedang dihadapi oleh wakil gubernur ini jauh lebih dalam dari yang kubayangkan sebelumnya.

"Apa yang terjadi pada anda?"

Ia menggigit bibirnya, seolah ragu dengan apa yang hendak diceritakannya. Tubuhnya sejenak kemudian bergetar hebat, seperti tidak terkendali. Ia lantas menunduk sambil memegang kepalanya seolah ada perang yang berkecamuk dahsyat di dalam pikirannya.

Aku lantas berdiri, merendahkan tubuhku. Memegang tangannya yang bergetar hebat itu. Tangannya sangat beku... dingin sekali. Entah apa kehidupan yang ia jalani hingga ia bisa merasakan goncangan sehebat ini. Sejenak kemudian ia menangis dan menggerang. Aku memegang tubuhnya, berharap ia mampu mengendalikan dirinya. Aku memposisikan diriku layaknya seorang kakak yang sedang menghibur adiknya yang sedang terguncang.

Aku benar-benar tidak menyangka, sosok yang berwibawa, sosok yang gagah dan banyak dikagumi orang itu bisa menangis dan mengerang tak berdaya seperti ini. Ya... tidak ada yang bisa menjamin bahwa jiwa seseorang tidak akan terluka. Siapa pun itu, sekuat apapun orang itu, seterkenal dan seberkuasa apapun, tak akan menjamin bahwa dirinya tidak memiliki luka di dalam jiwanya.

Setengah jam berlalu dan ia mulai bisa mengendalikan dirinya. Aku pun melepaskan peganganku pada tubuhnya. Ia mulai sadar dan mengusap keringat serta air matanya. Wajahnya nampak memerah. Sepertinya ia begitu malu bahwa ada orang asing yang baru ditemuinya hari ini, melihat sosok menyedihkan dirinya yang dikenal berwibawa itu.

Aku pun mengatakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline