Lihat ke Halaman Asli

Menikah Tak Harus Diawali Cinta

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421496102128483194

[caption id="attachment_391376" align="aligncenter" width="500" caption="gambar: http://gambargambarbunga.com"][/caption]

Masih terdengar riuh ramai keluarga di pelataran depan rumah. Masih terdengar jelas suara musik keroncong walaupun tidak disetel sekencang siang dan sore tadi. Aku duduk di atas kasur yang sepreinya baru saja diganti kemari.  Seprei warna putih kemeran-merahan dengan renda-renda di bagian pinggirnya

Kamar ini terasa lebih wangi dari biasanya. Bau melati semerbak di mana-mana. Entah ide siapa ini, menaburi kasur yang akan kurebahi dengan banyak melati. Pasti dia cuma mikirin wanginya, tapi ndak mikirin bahwa orang yang di atasnya bakal gatel-gatel. Hadeuh -____-"

Baru saja acara resepsi pernikahan kami berakhir. Rasanya pegal sekali,  berdiri menyambut dan menyalami tamu yang datang dari sejak pagi. Benar kata Mas Ocid, kalo nggak olahraga dan pemanasan lebih dulu pasti kaki bakal bengkak-bengkak.

Aku tanggalkan kemeja pengantin putih yang dari sore tadi kukenakan dan menyisakan kaos tipis di badanku. Segera ku hidupkan kipas angin di meja dengan kecepatan maksimal. OMG, panas banget. Keringetan seluruh jiwa raga (maaf lebay)!

Kurang kenceng nih keknya.

Aku pun mengambil sembarang kertas dan mengibas-ngibaskannya dengan penuh semangat 45.. Hohoho.. biar cepet adem.

Belum sempat terasa adem, tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. Krieeett.. (maaf pintunya belum diperbaiki, jadinya bunyi). Muncullah sesosok wanita berpakaian putih-putih, berkerudung panjang tapi punggungnnya nggak bolong  :D.

Gerakan mengipasku secara otomatis terhenti. Rasanya sangat aneh dan canggung berada dalam suasana seperti ini. Ia tersenyum sambil memberikan mangkok berisi nasi soto beserta kerupuk udang. Aduh, mbak-mbak ini perhatian banget sih, tahu aja kalau abang laper. Seharian berdiri cuma liat orang makan lalu lalang T___T.

“Ehm..  Rosi nggak makan?”

Ia tersenyum (Ini ngapain senyum senyum terus sih…)

“Nggak Mas. Tadi Rosi di belakang udah nyemil jajan. Lagian kalau semalam ini, Rosi nggak biasa makan.”

Oke… Sikaaaatt… (sotonya yang disikat ya, saudara-saudara, jangan mikir yang lain)

Aku memakan soto sambil.. diam-diam.. suka kamu… eh itu kan lagunya caribelek. Aku memakan soto sambil diam-diam mencuri pandang wajah mbak-mbak di depanku. Khilaf apa aku ini, kok mau-maunya menikah dengan dia.

***

Manis sih.. Nggak terlalu cantik kaya Jennifer Lawrence, tapi ya minimal nggak malu-maluin lah kalo dibawa kondangan. Yang penting nggak bolong punggungnya (hehehe.. becanda..)

Ini ceritanya lagi makan soto sambil membayangkan sejarah mengapa kami bisa menikah ya… Anggap saja time paradoks kapten Tsubasa berlaku disini. Makan soto 10 menit tapi mbayanginnya setengah jam.

Rosi sebenarnya adalah anak dari sahabat Bapak. Karena satu dan lain hal (sengaja tidak diceritakan, karena bakal merusak mood), akhirnya Rosi dititipkan di tempat Bapak dan Ibu.

Ish.. Mami (disebut Mami biar kerenan dikit) girang banget ketika Rosi dateng ke rumah. Yah maklumlah, sudah 29 tahunan Mami hidup sebatang kara dengan dua gorilla jantan berbulu lebat.  di dalam gubuk kecilnya. Katanya biar ada yang nemenin masak, belanja, nonton gossip dan lain sebagainya. Intinya seneng lah.

Ya aku sih sebagai anak yang tampan, berbakti dan cinta bulutangkis, oke-oke aja sih dengan kedatangan Rosi. Tapi suasana rumah yang dulu seram, kini berubah menjadi lebih ceria. Mami jadi sering cekikikan sendiri, Bapak juga sering cekikikan sendiri dan mau nggak mau terpaksa aku ikutan tren cekikikan sendiri. Itu semua karena sifat Rosi yang lucu, periang, blak-blakan dan suka heboh-heboh sendiri kalau lagi panik. Ngegemesin orang lah.

Tiga bulan berlalu semenjak Rosi tinggal di rumah kami. Entah kenapa Pak RT tiba-tiba mengunjungi kami. Pak RT dengan sopan santun menyampaikan keluhan dari para warga kampung. Mereka mengeluhkan jika ada seorang wanita yang tidak memiliki hubungan keluarga tinggal dalam satu atap. Takutnya akan timbul fitnah-fitnah gitu. Dan Pak RT memohon kepada Bapak, agar Rosi dikembalikan saja kepada orangtuanya. Yah, maklum lah, kampung kami ini terkenal sekali dengan masyarakat yang menjunjung tinggi unggah-ungguhnya.

Akhirnya, engan berat hati Rosi pun dipulangkan dengan hormat ke kampung halamannya. Semenjak Rosi pulang, seisi rumah menjadi sedih. Mami sedih.. Bapak sedih… si empus guling kesana kemari tidak bersemangat.. dan genting-genting pun mulai meneteskan air mata. Pedih deh pokoknya, kek kena busa shampoo.

Akhirnya diam-diam.. suka kamu…Ish salah lagi.. Akhirnya diam-diam, Mami ngobrol  sama aku.

“Din, kamu kan sudah tua.”

“Eh sori ya Mi.. Umur boleh 28, wajah masih anak SMA.”

“Maksud Mami..”

“Kamu nggak mau ya nikah?”

“Ya mau sih Mi… tapi belum ada calon..”

“Calon? Itu ada…”

“Siapa..?”

Dengan gaya sok berbisik, Mami bilang, “Rosi..”

Jederr… Rasanya bagaikan disambar petir di siang bolong, diterpa hujan badai lima musim nggak reda-reda, dan jengkulitan di bawah pohon jengkol bercabang dua.

“Tapi… aku nggak cinta Rosi Mi.. Plis deh..”

Mami yang mendengar jawaban dariku segera keluar kamar… berlari-lari nggak karuan… kesana-kemari (keknya ketularan lebaynya si Rosi deh). Mami kecewa dengan putra semata wayangnya.

Mi maafin Dino ya Mi…

***

Kali lain, Bapak dateng ke kamar bawa martabak telor kesukaanku.

“Din.. makan martabak bareng Bapak yuks sambil main CoC-an”

“Iya Pak.”

Baru makan martabak satu, mentimun dua dan cabe tiga, Bapak tiba-tiba memandang dengan wajah serius.

“Din, kamu kan sudah tua.”

“Eh sori ya Pak.. Umur boleh 28, wajah masih anak SMA.”

“Maksud Bapak..”

“Kamu nggak mau ya nikah?”

“Ya mau sih Pak… tapi belum ada calon..”

“Calon? Itu ada…”

“Rosi?”

“Iya.”

Aku pun tidak menjawab. Menyibukkan diri dengan martabak telor di depanku.

“Emang Rosi kurang apa?”

“Manis kan. Orangnya juga baik, lembut, periang, sederhana, dan nggak neko-neko.”

Pura-pura nggak mendengar.

“Kalo yang namanya cinta pasti akan tumbuh, jika ada komitmen dari kamu untuk menerima dia dan mau melindungi dia.”

“Pikirkan baik-baik Nak. Apalagi Mami-mu sudah sangat sayang dan menganggapnya seperti anaknya sendiri.”

Papi kemudian beranjak pergi dan membawa kembali martabaknya.

***

Empat hari tiga malam, aku seperti orang linglung. Di kantor nggak fokus kerjaan, di ajakin ngobrol nggak nyambung, sampai akhirnya bos menawarkanku untuk cuti karena kondisiku yang semakin memprihatinkan.

“Makasih ya Bos.”

“Iya Din.. tapi gaji dipotong yah..”

Huwaaaa… Tegaaa…

Akhirnya malem itu aku mengambil keputusan. Aku akan menikahi Rosi demi kebahagiaan Mami dan Bapak. Toh, tak ada salahnya menerima Rosi. Dia kan orangnya baik dan sepertinya menyenangkan untuk hidup bersama dia. Masalah cinta, yah nanti dipupuk pelan-pelan.

***

Sudah pukul 11 malam. Rosi sudah berbaring di tempat tidur kami. Aku yang baru saja mandi dan berganti pakaian duduk di sebelahnya. Aku pandangi wajah manisnya. Dan diam-diam tersenyum simpul. Aku belai pelan pipi merahnya.

Ia terbangun. Menatapku lembut.

Dan aku balas dengan tatapan lembut pula.

Ternyata cinta tidak sesulit yang kubayangkan. Asalkan ia mau menerima kita, dan kita mau menerima dia, rasa cinta itu perlahan akan datang dengan sendirinya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline