Air berwarna pekat itu perlahan mewarnai genangan air yang menguap dijalanan. Warnanya serupa darah, pemandangannya disangka ada tragedi berdarah. Memunculkan kepanikan pada detik-detik awal: jika ini adalah musibah yang memakan korban, tak terbayang rasa takut dan trauma yang akan dialami warga sekitar atas kebrutalan manusia-manusia laknat yang kalau sudah muntab mudah sekali menghilangkan nyawa orang. Bau cairan itu tidak mampu ditolak oleh hidung yang kadung penasaran, memastikan apakah anyir baunya. Setelah bau yang menjalari saluran napas mengirimkan sinyal ke otak, mereka terdiam sejenak. Wajah mereka memancarkan raut keheranan lalu kompak mengatakan: "Loh, ini kan bau pewarna batik!"
Jika mendengar Kota Batik, kita akan sepakat bahwa julukan ini diberikan pada Kota Pekalongan. Batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800 M. Motifnya yang beragam, modelnya yang mengikuti zaman, dan kemampuannya yang dapat memenuhi permintaan pasar, menjadikan batik begitu populer dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Batik Pekalongan rata-rata merupakan hasil produksi rumahan sehingga begitu lekat keberadaannya di hati masyarakat Pekalongan. Pengusaha-pengusaha batik yang lahir dari usaha rumahan tersebut nantinya akan mewariskan usahanya pada anak-cucu mereka. Selain untuk kepentingan bisnis, mewariskan usaha batik kepada keturunan mereka juga bisa dianggap sebagai dedikasi dalam rangka melestarikan keragaman budaya.
Kendati demikian, menjadi kota yang menghasilkan batik terbesar di seluruh Indonesia tidak selamanya terus mendapat acungan jempol jika melihat dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pekalongan, produksi besar yang dilakukan para pengusaha batik untuk memenuhi kebutuhan pasar perharinya bisa menghasilkan sekitar 5 juta liter limbah batik. Dengan besaran angka tersebut, tidak memungkinkan bagi sistem Instalasi Penampungan Air Limbah (IPAL) yang terbatas menampung seluruh limbah, kecuali 45%-nya saja. Sisa 55% limbah batik yang tak tertampung oleh teknologi IPAL, terpaksa dibuang langsung ke saluran air yang terhubung ke sungai. Pada akhirnya, masalah sungai tidak lagi sekadar penumpukan sampah, namun ditambah limbah dari batik yang dapat membahayakan kesehatan warga sekitar, apalagi jika warga menggantungkan kebutuhan airnya pada sungai.
Pada tanggal 6 Februari tahun 2021 silam, Kota Pekalongan banyak menjadi perbincangan publik soal banjirnya yang tak biasa. Saat itu curah hujan sedang tinggi sehingga saluran air meluap dan membanjiri pemukiman. Namun, yang menjadi sorotan berita nasional adalah banjir yang terjadi di Kelurahan Jenggot, Kota Pekalongan berwarna merah seolah-olah darah. Setelah mendapatkan informasi dari warga sekitar, warna merah tersebut diakibatkan adanya tumpahan pewarna batik dari warga Jenggot yang rata-rata berprofesi sebagai pengrajin batik. Tidak diketahui saat itu siapa pelakunya, tumpahan pewarna batik itu dianggap sebagai fenomena unik yang menjadi tontonan warga dan bahan bermain oleh anak-anak dengan mengenyampingkan efek berbahaya yang bisa terjadi pada tubuh jika terus terdampak dengan pewarna sintetis yang bercampur dengan saluran air yang kotor. Pewarna batik yang tumpah mungkin hanya satu dari lain alasan yang membuat banjir berwarna merah. Sungai di Pekalongan yang seringkali berubah warna seperti hijau lumut, coklat, merah, ungu dan jingga, hasil dari pembuangan limbah batik selama bertahun-tahun itu tidak menutup kemungkinan ikut menguap mencemari air yang membanjiri pemukiman warga setiap kali terjadi.
Warga yang benar-benar merasakan kesengsaraan dari fenomena ini dialami oleh warga asal Simbangkulon, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan yang mengeluhkan sumurnya tercemar limbah batik yang berbau menyengat dan berwarna merah pekat. Sekitar 9 sumur yang menjadi sumber mata air untuk 40 orang tercemar sehingga para warga harus mengeluarkan uang sekitar Rp20.000 perhari untuk membeli air bersih. Setelah ditelusuri, pencemaran sumur yang terjadi diakibatkan kebocoran saluran limbah batik dalam tanah. Konsentrasinya yang cair membuat tanah menyerap limbah itu sehingga mengakibatkan air di sumur menjadi tidak layak pakai. Dari kejadian tersebut, ada warga yang harus menumpang mandi di tempat kerabat atau tetangganya, dan adapula yang terpaksa menyaring sendiri air yang tercemar untuk dipakai mandi dan mencuci.
Walaupun permasalahan-permasalahan limbah batik ini sebagiannya dapat diatasi oleh pemerintah Kota Pekalongan, seperti disediakannya fasilitas IPAL oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan penyediaan air bersih bagi warga yang terdampak oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB), rasa-rasanya fasilitas dan bantuan itu tidaklah cukup jika tidak diimbangi dengan pemberian sanksi atau denda kepada pihak pengusaha batik yang tidak bertanggungjawab. Penanganan terhadap pelaku usaha yang 'nakal' dengan tidak tegas membuat mereka merasa membuang limbah batik di saluran air tanpa penyaringan sebagai hal lumrah.
Pemikiran seperti ini berbahaya bagi keberlangsungan lingkungan hidup jika dibiarkan oleh pemerintah setempat. Oleh karenanya, selain dari ketegasan pemerintah setempat, kesadaran tentang menyayangi lingkungan harus terus ditanamkan pada masyarakat lewat sosialisasi berkelanjutan. Peran penyuluhan terhadap pelaku usaha batik ini dapat dilakukan oleh anak-anak muda pencinta lingkungan untuk membantu kinerja pemerintah dalam menyadarkan pentingnya melestarikan budaya tanpa harus merusak alam yang ada.
Dalam kasus ini, warga yang aktif dalam kegiatan produksi batik, diajarkan bagaiamana mengolah limbah batik di Instalasi Penampungan Air Limbah (IPAL) sebelum membuangnya ke saluran air, menginformasikan dampak yang akan terjadi bila prosedur tersebut tidak dijalankan, dan memberikan alternatif bahan alami dalam pembuatan batik diluar bahan-bahan sintetis. Selain mensosialisasikan pengolahan limbah batik, anak-anak muda bersama Pemerintah Kota Pekalongan dapat bekerjasama membuka peluang usaha baru bagi Masyarakat dengan memfasilitasi pengolahan pewarna alami batik dari tumbuhtumbuhan untuk mengurangi risiko pencemaran lingkungan yang lebih parah. Nantinya, produk pewarna alami tersebut dapat dipasarkan dengan harga terjangkau untuk para pelaku usaha batik baik di dalam maupun diluar Pekalongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H