Dicopotnya CEO Nokia baru-baru ini, dan anjloknya harga saham Nokia akibat laporan keuangan yang negatif selama tiga bulan berturut-turut memang suatu kenyataan yang menyakitkan. Terlebih setelah salah satu media asing khusus ekonomi membahas kejatuhan Nokia kali ini sulit untuk mengembalikan posisinya kembali kepada kejayaan di masa lalu.
Padahal sebagai salah satu pemain pasar ponsel kelas dunia, semua orang mengetahui betapa hebat dan canggihnya ponsel Nokia dibandingkan merek-merek lain yang menjadi pesaing pasar terdekatnya. Bahkan bisa dibilang pelopor ponsel jenis kamera dan video juga lahir dari pemain ponsel asal Eropa ini.
Namun demikian, ada masalah klasik yang selalu dilupakan oleh bahkan pemain pasar sebesar Nokia dalam mempertahankan porsi pasarnya. Padahal seperti dikatakan banyak kalangan akademisi di berbagai sekolah bisnis terkemuka, peraturan mainnya untuk mempertahankan juara pasar hanya satu, jangan lupa pasar kelas bawah (low entry market).
Keberhasilan Samsung, LG, menggusur para pemain besar seperti Motorola, Sony Ericsson, dan bahkan Nokia, bukan karena mereka canggih. Memang ada satu dua produk keluaran Samsung maupun LG yang main di pasar kelas atas. Namun perbandingan antara ponsel canggih dan ponsel murah meriah merek Korea tersebut bisa dibilang 1:10.
Ponsel-Ponsel canggih keluaran pabrikan Korea tersebut, hanya dibuat untuk eksistensi brand, dan sarana ekspresi hasil riset dan pengembangan mereka. Bukan untuk membombardir pasar dengan ribuan ponsel canggih tapi hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.
Untuk produk canggih, para pemain Korea tersebut lebih suka menjadi supplier bagi para pemain pasar kelas atas seperti Apple dan merek lainnya. Dari mulai layar, hingga prosessor. Ini karena cost of production yang lebih murah dan tetap bisa menutup biaya riset dan pengembangan di laboratorium milik mereka.
Sebaliknya, untuk menjadi penguasa ceruk pasar ponsel kelas atas, diperlukan strategi pendekatan yang berbeda sama sekali. Dari mulai harga yang luar biasa mahal, gaya hidup, kebutuhan eksistensi para pembeli, dan juga sarana multimedia canggih yang sedang menjadi trend. Hal ini baru bisa dipenuhi oleh Apple dan beberapa pemain lain seperti HTC (meski buatan Taiwan tapi merupakan pemain ceruk pasar ponsel cerdas kelas atas).
Motorola sendiri, meskipun beberapa kali berhasil mengeluarkan ponsel-ponsel life style, namun tidak semua produknya sukses di pasaran. Hal ini karena kegagalan pembentukan komunitas yang loyal dan juga kurangnya fokus pada pasar yang digarap. Berbeda dengan Apple yang serius bertahan habis-habisan pada pasar kelas atas dengan mempertahankan harga sekaligus membangun loyalitas pelanggan secara serius dengan berbagai kemudahan dan juga gaya hidup.
Akibatnya para pemain pasar yang hanya berkonsentrasi kepada kecanggihan peranti keras, dibuat tunggang langgang. Contohnya Sony Ericsson yang terpaksa harus menengok penggunaan software Android sebagai basis smartphone (ponsel cerdas) mereka. Itupun mereka harus menghadapi petisi online dari para pelanggan mereka karena keterlambatan upgrade sistem software mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal HTC Desire sebagai produk pesaing kuat SE Xperia X10 sudah mendapatkan upgrade software terbaru secara online.
Sementara Apple dengan sangat cerdas segera merilis IOS 4.1 untuk menutupi kekurangan IOS 4.0 dan bahkan tidak lama lagi akan segera mengeluarkan IOS 4.2 untuk menahan gempuran dari pasar Android 2.2 Froyo yang mulai banyak dipakai oleh ponsel cerdas papan atas.
Para ahli pun memperkirakan, dalam dua sampai tiga tahun mendatang, pasar ponsel cerdas akan segera dikuasai oleh pasar Android yang sifatnya open source, karena bisa menekan harga ponsel canggih menjadi lebih murah dan terjangkau oleh pasar secara luas. Itu sebabnya guna menghindari gempuran android, maka Apple pun membuka sarana pengembangan aplikasi kepada pihak ketiga menjadi lebih terbuka dan mudah. Karena pada dasarnya keberhasilan suatu software, adalah pada pasar aplikasinya yang luas dan dapat dikembangkan oleh siapa saja.