Di sini saya tidak ingin mengomentari pernyataan Ketua BEM UI -- Melki Sadek Huang, yang mendapat intimidasi setelah memberikan kritik terhadap hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menghadapi intimidasi ini, Melki mangaku tetap teguh dalam pendiriannya bahwa ini adalah bagian dari perjuangan menuju kebenaran sebagai bentuk kebebasan berbicara menyampaikan pendapat.
Kejadian inipun kemudian memunculkan perdebatan tentang kebebasan berpendapat dan keamanan individu dalam berdemokrasi, yaitu dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal kebebasan berbicara menyampaikan pendapat.
Dari kejadian yang dialami Melki, saya pun diingatkan pada buku "Bayang-Bayang Ratu Adil" -- budayawan Sindhunata, di bab "Bercermin di Kalbu Rakyat".
Di bab tersebut, Sindhunata berkisah dengan merujuk pada apa yang terjadi di masa sisi gelap kekuasaan Kaisar Titus Flavius Domitianus saat naik takhta Imperium Roma, pada tahun 81. Ia sosok organisator luar biasa. Sebagai kaisar, ia memerintah dengan sangat otokratis.
Di mana dalam sistem republik, hukum ada di atas kaisar. Domitianus memang tidak menganggap dirinya dewa. Namun dalam menjalankan kekuasaan, ia tidak merasa berada di bawah hukum, seperti dikehendaki Senat.
Domitianus memang bukan seperti Nero yang jahat, atau Caligula yang ngawur dan hanya menuruti nafsu syahwat. Lebih daripada dua kaisar yang dibenci rakyat, Domitianus adalah penguasa yang sangat berhasil dalam politik. Hanya sayang, ia tidak bisa menerima oposisi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Domitianus menyelesaikan masalah oposisi dengan membungkam. Membungkam kebebasan berbicara.
Makin kaum oposisi disudutkan, makin tumbuh perlawanan. Makin tumbuh perlawanan, makin besarlah kecurigaan sang kaisar.
Maka di mana-mana ia mencanangkan peringatan "awas" ada bahaya mengancam keamanan negara. Padahal peringatan itu muncul karena Domitianus merasa diserang maiestas (martabat luhur)-nya.