Bicara musik rock Indonesia dalam kurun waktu lima dekade belakangan ini, pandangan kita tidak bisa lepas dari sosok musisi yang dalam perjalanan karirnya telah banyak memberi kontribusi dalam perkembangan musik rock di negeri ini, ia adalah Ian Antono. Salah seorang musisi rock terbaik yang dipunyai negeri ini. Dan, nama Ian Antono saat ini bukan saja sudah menjadi ikon rock Indonesia juga maestro rock Indonesia.
Dalam kiprahnya di jagad musik rock Indonesia, yang sudah digeluti sejak awal tahun 1970-an hingga kini, nama Ian Antono masih eksis berkiprah dan berkibar sebagai musisi papan atas negeri ini. Dalam perjalanannya, musisi kelahiran Malang -- Jawa Timur, 29 Oktober 1950, namanya bukan saja tercatat sebagai salah satu gitaris rock terbaik Indonesia. Ia juga diakui sebagai komposer dan aranjer yang telah banyak mencetak lagu-lagu hits, seperti Syair Kehidupan, Panggung Sandiwara, Rumah Kita, Ratna Sari Dewi, Uang, Tangan-Tangan Setan, dan banyak lagi.
Ian Antono pun dikenal sebagai sosok aranjer yang mumpuni dalam mengaransir lagu buat penyanyi lain. Sebagai aranjer, Ian telah banyak menyumbangkan karya-karya terbaiknya yang dinyanyikan sejumlah penyanyi. Setidaknya dari sentuhan aransirnya ikut mengorbitkan nama-nama penyanyi rock seperti Sylvia Saartje, Nicky Astria, Ikang Fawzie, Freddy Tamaela, dan banyak lagi. Termasuk diantaranya saat menggarap album Iwan Fals lewat karya album monumentalnya yakni Mata Dewa.
Lebih dari separuh hidup Ian abdikan di musik. Baginya, musik adalah jalan hidupnya. Sebagai musisi, ia sangat konsisten dengan jalur musik pilihannya yaitu rock. Siapapun penyanyi yang digarapnya tidak lepas dari sentuhan rock. Temasuk ketika ia menggarap album Grace Simon, Hetty Koes Endang, Happy Pretty, Titiek Hamzah, Berlian Hutahuruk, Franky Sahilatua, Leo Kristi, dan lagunya Ebiet G Ade, semuanya ia giring ke rock. Begitupun saat menggarap album Iwan Fals, bahaka Ian menyebut album Mata Dewa -- Iwan Fals, sebagai album hard rock.
Dari situ kemudian banyak yang mengkaitkan bahwa Ian Antono termasuk salah satu musisi rock yang berhasil mengkibarkan lagu-lagu rock masuk wilayah industri rekaman bersaing dengan pop. Kalau di era '70-an, rock hanya mampu berkibar di panggung pertunjukan sebagai barometernya, dan belum meledak di rekaman kaset. Justru lewat garapannya di album Jarum Neraka, meledak sampai 300 ribu copies kaset.
Pria kelahiran Malang -- Jawa Timur, 29 Oktober 1950, yang terlahir sebagai anak ke-4 dari bersaudara dari pasangan Dharmo P Djoyo dan Siti Mariani, pria kelahiran Malang -- Jawa Timur, 25 Oktober 1950, bernama asli Jusuf Antono Djojo, sejak kecil sudah menggeluti musik. Darah seninya mengalir dari sang ayah, seorang guru bahasa Inggris yang juga pemain biola. "Kita punya band keluarga," kata Ian, panggilan masa kecil dilingkungan keluarga. Pertama kali ngeband kelas 5 SD, pegang ketipung. Mainnya di acara pengantin, perpisahan sekolah atau acara reuni sekolah. Setelah itu ia mengakrabi dram, dan secara sembunyi-sembunyi belajar gitar, belajar lagu-lagu klasik. Walau sudah bisa main gitar, karena masih dianggap masih kecil, ia mengaku sudah fasih memainkan gitar lagu jazz standart. "Honor main band buat jajan," akunya sambil tertawa.
Tamat SMA Santo Albertus Malang, tahun 1969, ia lebih memilih ke musik ketimbang harus melanjutkan sekolah. Gara-gara pilihannya itu, ia menerima ultimatum dari orang tuanya, sekolah atau main musik. Kalau tetap mau memilih main band keluar dari rumah. "Aku tetap pilih main band. Ya terpaksa harus keluar dari rumah. Jadi setengah diusir," kenang Ian. Ditambahkan, di antara saudaranya hanya dia yang terus menggeluti musik. "Kakakku sekolah semua. Nggak ada yang berani, Bapakku termasuk kejam dalam mendidik anak. Orang tuaku berharap anaknya kerja di kantoran, bukan jadi pemain band," ujar Ian yang pernah memanjangkan rambutnya sampai sepunggung.
Selepas SMA, ia bergabung dengan Abadi Soesman dalam Sapta Nada, sebagai drummer, dan berkelana ke Surabaya, main di nite club. Bersama Abadi Soesman, Ian berkelana ke Jakarta main di hotel Marco Polo. Saat main di DF (Djakarta Fair), Ian mengiringi musik apa saja, lagu dangdut sekalipun. Ia juga mengiringi dari penyanyi kecil sampai tua, dari Trio The Kids masih pakai celana pendek, sampai Benyamin, Tetty Kadi, Trio The Kings. "Jadi lagu jenis apapun aku kenal dan pernah memainkan. Di situ aku mainnya pindah-pindah antara gitar dan dram," kenangnya.
"Sebetulnya aku dulu berangkat ke Jakarta nggak punya angan-angan jadi apa-apa. Cuma pingin main band aja. Semua itu proses yang aku dapat secara mengalir begitu saja secara tidak sengaja. Jadi arranger juga nggak sengaja, jadi ilustartor musik film juga nggak sengaja," paparnya.
Ian juga pernah merambah di film, dipercaya untuk garap musiknya. Antara lain di film Duo Kribo, Si Doek Anak Modern, Semalam di Malaysia, dan Perwira dan Ksatria. Menurutnya, bikin album jauh lebih berat dibanding ilustrasi musik film. Termasuk garap album dangdut Zakia-nya Achmad Albar, Ian dituding sudah mulai melenceng. "Waktu itu aku dapat tawaran dari Iye, kenapa nggak aku coba. Dan situ aku nggak merasa membelot dari rock. Karena di album itu ada rocknya juga. Karena nggak mungkin aku main pure dangdut. Jelas aku nggak bisa kalau murni dangdut," papar Ian.