Di sini saya tidak ingin mengomentari argumentatif yang disampaikan oleh para nara sumber di Kabar Petang TV One (29/8) bertajuk "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?", terkait peralihan nama koalisi kubu pendukung Prabowo Subianto dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) ke Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Di sini saya juga tidak ingin mengomentari apakah pemakaian nama ini sudah sepengetahuan, seizin atau serestu Presiden Jokowi?
Di sini saya juga tidak ingin berpretensi adakah peralihan nama ini merupakan endorse atau cawe-cawe Presiden Jokowi?
Di sini saya tidak menyukai kata "duplikat", seperti yang tertera di "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?".
Karena kalau merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "duplikat" bermakna sebagai salinan yang serupa benar dengan aslinya. Jadi, adakah KIM sebagai salinan politik Jokowi, kira-kira begitu maknanya.
Terlepas dari semua itu. Di sini saya hanya mencoba membaca peralihan nama koalisi Prabowo yang didukung Partai Gerindra, PKB, Golkar dan PAN, dalam perspektif semiotika sebagai bahasa tanda.
Dalam kajian semiotika, sebagaimana dikemukakan Charles Sanders Peirce bahwa sebagai sebuah bahasa tanda, semiotika bermakna dan berfungsi untuk mengemukakan sesuatu pesan. Lewat saluran komunikasi ini pesan dari bahasa tanda tersebut disampaikan.
Begitu halnya ketika terhubung dengan konteks semiotika KIM dan KKIR atas judul "Koalisi Prabowo Duplikat Politik Jokowi?".
Dalam perspektif semiotika, saya lebih menyukai makna kata KKIR -- Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya -- saya anggap lebih berpamor dan magis.